Jakarta, FORTUNE - Peluang besar untuk menyerap 820.000 tenaga kerja asing di Jepang melalui skema specified skilled Worker (SSW) hingga 2029 terbuka lebar. Namun, Indonesia baru mengisi 12 persen dari kuota tersebut, tertinggal jauh dari Vietnam yang mendominasi dengan kontribusi 59 persen.
Kesenjangan ini menjadi sorotan utama Indonesian Business Council (IBC), yang menilai peluang ini harus dimanfaatkan secara maksimal. Analisis IBC Institute memproyeksikan, peningkatan penempatan Pekerja Migran Indonesia (PMI) hingga 30 persen pada segmen pekerja terampil (medium-skilled) berpotensi menambah devisa negara hingga Rp440 triliun dan menekan tingkat pengangguran nasional sebesar 0,28 poin persentase.
“Tantangannya adalah menutup kesenjangan dengan negara lain dan memastikan PMI kita diakui sebagai tenaga kerja berkualitas tinggi,” kata CEO IBC, Sofyan Djalil, dalam forum di Jakarta, Rabu (13/8).
Peningkatan permintaan tenaga kerja di Jepang, menurut Menteri Perlindungan Pekerja Migran Indonesia (PPMI), Abdul Kadir Karding, tidak dapat dilepaskan dari krisis demografi di negara tersebut, dengan sekitar 30 persen penduduknya kini berusia di atas 60 tahun.
Demi menyiasatinya, Kementerian PPMI dan IBC telah menandatangani Nota Kesepahaman (MoU) tentang Kolaborasi Strategis untuk Penguatan Ekosistem Penempatan PMI Terampil.
Menurut Sofyan, potensi ini hanya bisa tercapai jika didukung oleh iklim usaha yang kondusif dan pemangkasan hambatan, mulai dari perekrutan hingga penempatan. Fokus utama kerja sama ini meliputi:
Perbaikan tata kelola penempatan.
Peningkatan kualitas pelatihan dan sertifikasi.
Solusi pembiayaan yang adil.
Penguatan perlindungan PMI sebelum, selama, dan setelah bekerja.
Abdul Kadir menambahkan, momentum ini harus mendorong reformasi menyeluruh dalam penyiapan tenaga kerja migran, termasuk penguasaan bahasa, peningkatan keterampilan, dan percepatan proses administrasi.
“Kita harus memastikan tenaga kerja kita siap bersaing di pasar global dan mampu membawa manfaat jangka panjang bagi keluarga, masyarakat, dan perekonomian nasional,” ujarnya.
Data Kementerian PPMI mencatat, sektor yang paling banyak menyerap PMI di Jepang adalah konstruksi, teknik, kesehatan, pertanian, manufaktur, dan perhotelan.