Di tengah tren suram itu, sektor kesehatan muncul sebagai salah satu bidang yang paling tahan terhadap disrupsi AI. Salah satu profesi yang tumbuh paling pesat adalah pendamping kesehatan rumah (home health aide), pekerjaan yang membantu merawat pasien di rumah.
Menurut data Biro Statistik Tenaga Kerja AS (BLS), akan ada hampir 740 ribu posisi baru di bidang ini dalam sepuluh tahun ke depan. Menariknya, sektor ini juga mencatat peningkatan perekrutan pekerja muda lebih cepat dibandingkan pekerja senior.
Memang, gaji median tahunan sekitar US$35 ribu (sekitar Rp560 juta) bukan angka yang menggiurkan bagi kebanyakan Gen Z. Namun, profesi ini memiliki syarat masuk yang rendah, cukup ijazah SMA dan pelatihan singkat di tempat kerja, dan tingkat stabilitas yang tinggi di tengah ketidakpastian ekonomi.
“Pekerjaan ini mungkin bukan yang paling prestisius, tapi menjadi salah satu sedikit pilihan karier yang relatif kebal terhadap otomasi,” kata laporan tersebut.
Tren ini juga didorong oleh kekurangan tenaga medis yang semakin parah sejak pandemi COVID-19. Gelombang pensiun massal dari generasi baby boomer ikut memperlebar celah tersebut.
Dalam laporannya, BLS memperkirakan akan ada sekitar 1,9 juta lowongan di sektor kesehatan setiap tahun selama dekade mendatang.
Selain home health aide, banyak posisi lain yang menawarkan gaji lebih tinggi, seperti:
Perawat praktisi (nurse practitioner) dengan gaji median US$130 ribu per tahun dan proyeksi pertumbuhan 40 persen.
Asisten dokter (physician assistant) dan perawat anestesi (nurse anesthetist) yang juga menawarkan gaji tinggi serta keamanan kerja jangka panjang.
Para ahli sepakat bahwa untuk saat ini, AI tidak akan banyak mengusik sektor kesehatan. Geoffrey Hinton, ilmuwan komputer yang dijuluki Godfather of AI, menyebut bahwa tenaga medis akan tetap dibutuhkan karena peran manusia tak tergantikan dalam empati dan sentuhan personal.
“Kalau kita bisa membuat dokter lima kali lebih efisien, kita bisa mendapatkan lima kali lebih banyak layanan kesehatan dengan biaya yang sama,” ujar Hinton dalam podcast The Diary of a CEO.
Sementara itu, CEO Google DeepMind Demis Hassabis menegaskan bahwa AI memang akan membantu mempercepat riset dan diagnosis penyakit, tetapi hubungan manusia tetap menjadi inti dari dunia medis.
“Tidak ada yang ingin dirawat oleh perawat robot. Empati manusia adalah hal yang tidak bisa disintesis oleh mesin," katanya.