Jakarta, FORTUNE - Para pelaku industri penerima Harga Gas Bumi Tertentu (HGBT) menunjukkan keresahannya setelah produsen gas mengumumkan rencana pemangkasan distribusi hingga 48 persen. Setiap penggunaan gas di atas kuota akan dikenai biaya tambahan 12 persen dari harga US$14,8 per million british thermal unit (MMBTU) atau menjadi setara dengan US$17,8 per MMBTU.
Kementerian Perindustrian (Kemenperin) menanggapi problem ini dengan membentuk “Pusat Krisis Industri Pengguna HGBT,” yang akan menjadi wadah laporan, keluhan, hingga masukan dari pelaku industri terdampak.
“Menurut kami, hal ini janggal karena pasokan gas untuk harga normal di atas US$15 per MMBTU stabil, sementara HGBT di US$6,5 per MMBTU justru dibatasi. Itu artinya, tidak ada masalah produksi dari hulu,” ujar Juru Bicara Kemenperin, Febri Hendri Antoni Arief, dalam keterangannya, dikutip Selasa (19/8).
Febri mengatakan produsen gas sebaiknya tidak membangun narasi pembatasan pasokan gas karena ingin menaikkan harga gas untuk industri di atas US$15 per MMBTU.
“Kami tidak ingin kejadian yang terulang kembali pada industri dalam negeri, dengan kebijakan relaksasi impor yang mengakibatkan turunnya utilisasi produksi, penutupan industri, dan pengurangan tenaga kerja pada industri TPT dan alas kaki,” ujarnya.
Pembentukan pusat krisis ini menyusul makin banyaknya laporan dari pelaku industri dalam negeri mengenai pembatasan pasokan, penurunan tekanan gas yang diterima, serta tingginya harga gas yang dibebankan. Selain itu, tersendatnya pasokan HGBT serta harga yang dibayar industri di atas harga yang ditetapkan Perpres Nomor 121 Tahun 2020, juga menjadi dasar pembentukannya.
Tujuh subsektor penerima manfaat HGBT adalah industri pupuk, petrokimia, oleokimia, baja, keramik, gelas kaca, dan sarung tangan karet.
Beberapa sektor industri pengguna HGBT sudah mulai menyampaikan laporan kepada direktorat terkait di Kemenperin. Di antara kondisi yang dilaporkan adalah pembatasan pasokan serta tekanan gas yang tidak stabil. Situasi ini memaksa sejumlah perusahaan melakukan rekayasa operasional agar produksi tetap berjalan.
Febri mengatakan banyak dari kasus tersebut ditemukan pada sektor industri keramik, gelas kaca, baja, dan oleokimia yang sangat bergantung pada pasokan gas dengan harga kompetitif.
“Kalau gas dibatasi, tekanannya turun, atau harganya melonjak, industri pasti terpukul. Ini bukan hanya soal biaya produksi yang meningkat, tapi juga bisa memicu pengurangan kapasitas, ancaman PHK, dan penurunan daya saing produk Indonesia,” katanya.