Jakarta, FORTUNE - Perhimpunan Ahli Pertambangan Indonesia (Perhapi) menyoroti kebijakan baru pemerintah yang mengizinkan koperasi mengelola tambang mineral dan batu bara.
Ketua Umum Perhapi, Sudirman Widhy, mengingatkan kebijakan tersebut berpotensi menimbulkan masalah serius, terutama terkait risiko pelanggaran aturan teknis dan kerusakan lingkungan.
Kekhawatiran ini muncul setelah pemerintah menerbitkan Peraturan Pemerintah (PP) No.39/2025 tentang perubahan kedua atas PP No.96/2021 mengenai pelaksanaan kegiatan usaha pertambangan mineral dan batu bara (Minerba).
Regulasi tersebut membuka peluang bagi koperasi dan usaha kecil menengah (UKM) untuk memperoleh Wilayah Izin Usaha Pertambangan (WIUP) secara prioritas, dengan luas maksimal hingga 2.500 hektare.
Menurut Sudirman, meski niat pemerintah mengakomodasi badan usaha kecil patut diapresiasi, tapi pengelolaan tambang bukanlah aktivitas sederhana yang bisa dijalankan tanpa kemampuan finansial dan teknis memadai.
“Sebuah operasional pertambangan yang baik dan benar memerlukan biaya modal yang sangat besar, dimulai dari eksplorasi, pemboran, kajian keekonomian dan lingkungan, hingga penyediaan dana jaminan reklamasi serta penutupan tambang,” kata Sudirman kepada Fortune Indonesia, Rabu (8/10)
Ia menambahkan, kekurangan modal sering kali membuat pelaku usaha kecil tergoda melakukan praktik tambang tanpa prosedur yang benar. Hal ini, kata dia, berisiko menimbulkan pelanggaran regulasi dan kerusakan lingkungan yang justru bisa merugikan negara.
“Kami khawatir jika mindset yang berkembang di sebagian pengelola koperasi dan UKM masih sebatas menggali dan mengambil bahan galian tanpa pemahaman teknis, maka dampaknya akan sangat merusak,” ujarnya.
Sudirman menjelaskan, dalam kondisi finansial terbatas, koperasi sebaiknya tidak menjadi pemegang IUP langsung, melainkan diarahkan menjadi penyedia jasa pertambangan bagi perusahaan pemegang izin yang telah memenuhi syarat. Dengan begitu, koperasi tetap bisa ikut menikmati hasil ekonomi dari sektor pertambangan tanpa menanggung risiko besar.
“Mereka bisa berperan sebagai kontraktor tambang, penyedia jasa angkutan, katering, keamanan, atau layanan transportasi karyawan. Semua itu tetap membuka peluang ekonomi tanpa harus memegang izin tambang,” katanya.