Jakarta, FORTUNE - Perlambatan ekonomi yang berlarut-larut mulai mengubah secara fundamental cara masyarakat mengelola uangnya. Survei Inventure–Alvara 2025 terhadap 600 responden di Jabodetabek, Semarang, Surabaya, Bandung, Balikpapan, Medan, dan Makassar menunjukkan bahwa lahirnya frugal consumer tidak hanya berdampak pada pola belanja. Namun, telah menggeser struktur permintaan di sektor perbankan, pembiayaan otomotif, hingga industri wellness.
Managing Partner Inventure, Yuswohady, mengatakan pergeseran ini memperlihatkan bahwa masyarakat memasuki fase dormant economy, kondisi ketika konsumsi tertahan meski optimisme makro mulai muncul. Namun, di tengah ketatnya pola konsumsi dari frugal consumer, muncul sinyal positif: kepercayaan terhadap kebijakan Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa mendorong optimisme publik. Sebanyak 87 persen responden menyatakan kebijakan pemerintah meningkatkan keyakinan mereka terhadap kondisi finansial ke depan. Sebanyak 72 persen responden juga yakin ekonomi Indonesia akan membaik dalam 12 bulan ke depan.
“Kepercayaan publik terhadap arah kebijakan pemerintah adalah modal psikologis yang sangat kuat. Optimisme ini muncul lebih cepat dibanding pemulihan daya beli, sehingga konsumen merasa lebih percaya diri meski masih menahan belanja,” ujarnya dalam diskusi BUSINESS OUTLOOK 2026 bertajuk The Birth of Dormant, Economy The Rise of Frugal Consumer, di Jakarta, Selasa (9/12).
CEO Alvara Research Center, Hasannudin Ali, menilai konsumen berada dalam fase transisi. “Optimisme makro sudah bergerak, tetapi optimisme mikro yang terkait langsung dengan kondisi dompet rumah tangga masih tertahan," katanya.
Di sektor perbankan, terlihat perubahan besar dalam cara nasabah memanfaatkan produk finansial. Kredit menjadi area yang paling terpukul. Transaksi kartu kredit, pinjaman pribadi, hingga kredit kendaraan melemah signifikan. Nasabah menghindari komitmen baru, menjadikan kredit sebagai simbol risiko di tengah ketidakpastian. Sebaliknya, tabungan berjangka dan deposito mencatat kenaikan. Likuiditas menjadi prioritas, dan nasabah memperkuat cadangan finansial mereka sebagai mekanisme bertahan.
Yuswohady, mengatakan perubahan ini sangat logis, sebab frugal consumer sangat sensitif terhadap komitmen jangka panjang. "Mereka meminimalkan kredit karena tidak ingin kehilangan fleksibilitas. Tabungan dan deposito menjadi ‘benteng pertama’ untuk menjaga stabilitas arus kas di tengah ekonomi yang tidak pasti," ujarnya.
Perilaku serupa terjadi pada portofolio investasi. Sebanyak 72 persen responden memindahkan dana mereka dari instrumen berisiko tinggi ke aset aman, yakni deposito, emas, dan obligasi. Langkah ini merupakan flight to safety yang memperlihatkan tingginya aversi risiko masyarakat.
Hasanuddin menambahkan, nasabah kini menilai keamanan aset lebih penting daripada potensi imbal hasil tinggi. "Flight to safety adalah bukti bahwa masyarakat memilih stabilitas di tengah dormant ekonomi. Mereka mengutamakan perlindungan nilai bukan spekulasi," katanya.
