Jakarta, FORTUNE - Indonesia dihadapkan pada tantangan krisis global yang tak mudah pada 2023 mendatang. Presiden Joko Widodo bahkan berkali-kali menyampaikan perlunya kewaspadaan untuk menghadapi ancaman resesi dunia yang ia sebut periode "gelap" di tahun depan.
Segendang sepenarian, Menteri Keuangan Sri Mulyani juga berkali-kali berbicara soal proyeksi suram perekonomian dunia yang akan merembet ke Indonesia. Beberapa di antaranya disebabkan inflasi global yang melonjak serta pengetatan likuiditas dan kenaikan suku bunga. Dua hal tersebut membawa potensi krisis utang dan stagflasi di banyak negara tak terkecuali Indonesia.
Seperti diketahui, disrupsi suplai karena pandemi dan perang, dikombinasi dengan excessive stimulus fiskal dan moneter sebelum dan selama pandemi di negara maju telah menyebabkan volatilitas pasar keuangan global, capital outflow, pelemahan nilai tukar dan lonjakan biaya utang (cost of fund) di berbagai negara.
Dalam unggahan di akun Instagram pribadinya, Bendahara Negara bahkan menyebut lonjakan biaya utang bakal menekan sepertiga negara di dunia dalam 4-6 bulan kedepan, "Baik karena kesulitan beban utang yang tinggi, ditambah lemahnya fundamental makro ekonomi dan isu stabilitas politik."
Lantas bagaimana dengan Indonesia? Apakah rasio utang pemerintah cukup aman? Kemudian, apakah fundamental RI bisa tahan terhadap guncangan di 2023?