Jakarta, FORTUNE - Retno Marsudi, yang kini menjabat sebagai Utusan Khusus PBB untuk Isu Air, mengungkapkan tiga tantangan utama yang dihadapi dunia dalam mengatasi krisis air global. Tiga tantangan tersebut adalah: too much (banjir), too little (kekeringan), dan too political (air menjadi isu politis).
Problemnya, ia menyatakan betapa pentingnya air terhadap ketahanan pangan.
“Air adalah kehidupan. Tidak ada satu pun kehidupan tanpa air. Saat kita bicara ketahanan pangan, kita tidak bisa menghindar untuk terlebih dulu bicara ketahanan air,” kata Retno dalam acara Kagama Leaders Forum di Gedung RRI, Jakarta, Kamis (17/7).
Retno Marsudi, yang sempat menjabat sebagai Menteri Luar Negeri selama dua periode pemerintahan Presiden Joko Widodo, kini berkonsentrasi pada isu strategis global seperti krisis air. Sebagai satu-satunya diplomat Indonesia yang dipercaya menjadi utusan khusus untuk isu air oleh PBB, Retno menilai krisis air saat ini sangat mengkhawatirkan dan dapat mengancam ketahanan pangan dunia.
Ia memaparkan bahwa 72 persen air tawar global digunakan untuk sektor pertanian. Misalnya, untuk memproduksi 1 kilogram beras dibutuhkan sekitar 2.500 liter air, sementara jagung membutuhkan 900 liter per kilogram. Artinya, produksi pangan sangat bergantung pada ketersediaan air.
Namun, menurut Retno, dunia kini menghadapi tantangan serius. Satu dari empat orang mengalami kekurangan air, dan diperkirakan pada 2050, sebanyak tiga per empat populasi dunia akan terdampak kekeringan.
Dalam periode yang sama, populasi dunia diperkirakan mencapai 10 miliar jiwa, yang akan meningkatkan permintaan pangan hingga 50 persen dan air tawar hingga 30 persen.
“Sayangnya, perubahan iklim memperparah semua tantangan ini, dan infrastruktur air pun menghadapi kesenjangan pendanaan yang besar. Hanya 1,2 persen dari total belanja publik global dialokasikan untuk infrastruktur air, dan 90 persen pendanaan masih bergantung pada anggaran pemerintah. Partisipasi swasta baru 2 persen,” ujarnya.