Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel Fortune IDN lainnya di IDN App
Presiden Amerika Serikat, Donald Trump menandatangani Perintah Eksekutif mengenai rencana tarif Pemerintah pada acara “Make America Wealthy Again”, Rabu, 2 April 2025 (flickr.com/The White House)
Presiden Amerika Serikat, Donald Trump menandatangani Perintah Eksekutif mengenai rencana tarif Pemerintah pada acara “Make America Wealthy Again”, Rabu, 2 April 2025 (flickr.com/The White House)

Intinya sih...

  • Tarif impor 19% untuk produk Indonesia ke AS masih dibayangi intervensi lanjutan dari Presiden Trump.

  • Kesepakatan ini berpotensi membebani neraca dagang Indonesia dan menekan sektor pertanian domestik.

  • Sikap AS dianggap sebagai pemerasan terhadap Indonesia, bukan kemenangan diplomasi atau cerminan kemitraan strategis.

Jakarta, FORTUNE – Kesepakatan tarif impor untuk produk Indonesia ke Amerika Serikat menjadi 19 persen masih dibayangi intervensi lanjutan dari Presiden Donald Trump. Melalui platform Truth Social, Trump menyatakan kesepakatan ini mencakup komitmen pembelian produk energi senilai US$15miliar, produk pertanian US$4,5 miliar, dan 50 unit pesawat Boeing.

Ekonom dan Pakar Kebijakan Publik UPN Veteran Jakarta, Achmad Nur Hidayat memandang kondisi ini bakal membebani neraca dagang hingga devisa Indonesia.

“Impor dalam jumlah masif dari AS akan meningkatkan tekanan pada neraca pembayaran dan neraca perdagangan Indonesia. Pembelian energi US$15 miliar juga akan menambah beban devisa. Selain itu, pembelian produk pertanian dari AS juga berpotensi menekan sektor pertanian domestik, dari jagung hingga kedelai, karena kalah bersaing harga dan volume,” kata Achmad melalui keterangan tertulis kepada Fortune Indonesia (18/7).

Sementara itu, pembelian pesawat Boeing juga bisa meningkatkan utang maskapai nasional, atau menekan cashflow BUMN penerbangan yang selama ini terus disubsidi negara.

AS dianggap peras Indonesia

ilustrasi tarif impor (pixabay.com/geralt)

Ia menyatakan, dalam teori perdagangan internasional, tarif resiprokal digunakan untuk melindungi kepentingan nasional dan memperkuat posisi tawar domestik.  Namun, kesepakatan ini justru membuat Indonesia membeli lebih banyak dari AS hanya demi tarif yang turun tak signifikan

“Penurunan tarif dari 32 persen menjadi 19 persen oleh AS bukanlah kemenangan diplomasi, melainkan hasil kompromi tekanan yang sarat akan pemerasan. Ini bukan deal besar. Bukan pula cerminan kemitraan strategis. Ini adalah bentuk ketidakadilan global yang hanya menguntungkan AS secara eksklusif,” kata Achmad. 

Ia menyatakan, seharusnya Indonesia mementingkan kepentingan nasional untuk menjaga kedaulatan energi dan pangan, memperkuat industri manufaktur, serta memperluas pasar ekspor non-tradisional agar tidak tergantung pada AS. 

“Di era multipolar saat ini, negara yang bertahan bukanlah yang paling terbuka tanpa syarat, melainkan yang mampu mengatur pembukaan pasar secara cerdas, terukur, dan adil,” ujarnya.

Editorial Team