Menag Yaqut Dukung Manasik Haji di Metaverse, Apa Alasannya?

Ka’bah metaverse sebagai edukasi, bukan ibadah sesungguhnya.

Menag Yaqut Dukung Manasik Haji di Metaverse, Apa Alasannya?
Ilustrasi memasuki dunia metaverse dengan headset VR/Tangkapan layar web gph.gov.sa
Follow Fortune Indonesia untuk mendapatkan informasi terkini. Klik untuk follow WhatsApp Channel & Google News

Jakarta, FORTUNE - Menteri Agama (Menag) Yaqut Cholil Qoumas mendukung penggunaan manasik haji melalui metaverse. Perkembangan teknologi yang menghadirkan Ka'bah di metaverse disebut menjadi salah satu solusi untuk memberikan pengalaman ibadah yang didambakan setiap umat muslim tersebut.

Sebelumnya, sejumlah kalangan ulama di Timur Tengah mengkhawatirkan adanya Ka’bah dalam dunia metaverse dan kehadirannya tak dapat menggantikan ibadah haji. Banyak kesalahpahaman dan kontroversi yang muncul karena ada anggapan ibadah haji tidak perlu lagi dilakukan secara fisik. 

Dikutip dari Scoop Empire, manasik haji dengan metaverse pun sudah dikembangkan di Arab Saudi yang membuat Ka'bah di Masjidil Haram, Mekah dan dapat dikunjungi secara virtual dalam konsep metaverse. Kunjungan virtual ini dilakukan menggunakan alat realitas virtual (VR).

Salah satu ritual penting ibadah haji adalah menyentuh dan mencium batu hitam Hajar Aswad, yang juga merupakan titik awal dan akhir dalam Tawaf, atau ritual ibadah mengelilingi Ka'bah sebanyak tujuh kali. Otoritas Departemen Tempat Suci Islam di Arab Saudi mengumumkan peluncuran proyek 'Hajar Al-Aswad Virtual' di mana batu hitam suci tersebut kini dapat disentuh secara virtual melalui teknologi VR.

Mengikuti perkembangan transformasi digital

Ilustrasi Ibadah Haji Virtual di Metaverse/LaunchGood

Menag Yaqut menyatakan dukungannya terhadap transformasi digital dalam penerapan layanan haji dan umrah. Salah satunya penggunaan manasik haji melalui metaverse. Hal ini disampaikan dalam Rapat Kerja Nasional (Rakernas) Program Penyelenggaraan Haji dan Umrah Tahun 2022 di Asrama Haji Pondok Gede Jakarta beberapa waktu lalu.

"Tadi saya juga sudah berbicara kalau manasik itu juga bisa dilakukan dengan cara metaverse (virtual)," kata Menag, dikutip dalam laman resmi Kemenag, Senin (21/03).

Dia juga memberikan dukungan sepenuhnya kepada dirjen dan seluruh jajaran untuk pengembangan simulasi ibadah haji di metaverse.

“Agar terus dikembangkan bukan hanya terkait dengan pendaftaran saja. Tapi juga manasik haji dengan cara metaverse," kata dia.

Ketua GP Ansor ini berharap dengan manasik haji metaverse, jemaah diharapkan dapat merasakan hadir secara langsung di Masjidil Haram dan melakukan Tawaf dan Sa'i secara virtual. Kemudian nantinya jemaah tidak lagi diberikan manasik secara konvensional seperti tahun-tahun sebelumnya. 

"Jemaah haji bisa membayangkan apa yang belum pernah mereka jumpai seperti putaran tawaf, dimana lampu hijaunya bila jemaah kita menggunakan metaverse jemaah bisa merasakan saat di melaksanakn Tawaf dan Sa'i di Tanah Suci," kata dia.

Di samping pelaksanaan manasik ibadah secara virtual, lanjut Yaqut, jemaah juga harus diberikan manasik mengenai tata cara menggunakan toilet pesawat dan kunci kamar hotel. 

"Saya merasakan kita belum melakukannya secara masif dan saya berharap ke depan ini disiapkan, mungkin digitalisasi metaverse bisa menjadi solusinya," katanya.

Ibadah haji di metaverse tidak sah

Ilustrasi Metaverse/ Shuterstock Poptika

Senada, Ketua PBNU Ishfah Abidal Aziz mengatakan, proyek Ka’bah di metaverse konteksnya untuk memberikan edukasi kepada umat Islam terkait penyelenggaraan ibadah haji sebelum ke tanah suci.

"Mungkin konteksnya itu bukan untuk penyelenggaraan ibadah haji melainkan untuk melakukan edukasi. Kalau bicara Ka'bah posisinya seperti ini, kalau kita mengelilingi Ka'bah seperti ini," ujarnya.

Sejatinya pelaksanaan ibadah haji dituntut untuk hadir secara fisik di tempat-tempat yang ditentukan oleh syara' yaitu di Padang Arafah, Muzdalifah, Mina, Ka'bah, Shafa dan Marwa.

Selain itu, ibadah haji harus dikerjakan pada waktu yang telah ditentukan, yakni di bulan dzulhijjah. Hal ini juga sesuai dengan hadist dari Nabi yakni, "Haji itu intinya wukuf di Arafah, barang siapa yg menjumpai wukuf di Arafah, maka ia menjumpai haji."

"Ini artinya kalau ada orang yang tidak bisa hadir di padang arafah pada waktu yang telah ditentukan oleh syara' tersebut maka yang bersangkutan secara syar'iyyah tidak bisa diakui telah melaksanakan ibadah haji karena yang bersangkutan tidak bisa hadir ditempat dimaksud pada waktu yang telah ditentukan," ujar Wakil Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI) Anwar Abbas dalam keterangan tertulis, dikutip Senin (21/3).

"Belum lagi yang menyangkut mabit di muzdalifah, melempar jumroh di mina, thawaf di kabah dan sai antara shafa dan marwa, itu semua harus dilakukan secara fisik di tempat dan waktu yang sudah ditentukan oleh syara'. Ketentuan itu semua sudah qath'i atau tidak boleh diubah," ucapnya.

Magazine

SEE MORE>
Fortune Indonesia 40 Under 40
Edisi Februari 2024
Investor's Guide 2024
Edisi Januari 2024
Change the World 2023
Edisi Desember 2023
Back for More
Edisi November 2023
Businessperson of the Year 2023
Edisi Oktober 2023
Rethinking Wellness
Edisi September 2023
Fortune Indonesia 100
Edisi Agustus 2023
Driving Impactful Change
Edisi Juli 2023

Most Popular

Mengenal Proses Screening Interview dan Tahapannya
Cara Mengaktifkan eSIM di iPhone dan Cara Menggunakannya
Bidik Pasar ASEAN, Microsoft Investasi US$2,2 Miliar di Malaysia
Perusahaan AS Akan Bangun PLTN Pertama Indonesia Senilai Rp17 Triliun
SMF Akui Kenaikan BI Rate Belum Berdampak ke Bunga KPR Bersubsidi
Digempur Sentimen Negatif, Laba Barito Pacific Tergerus 61,9 Persen