Filipina Bakal Larang Pengguna Medsos yang Pakai Akun Anonim

Masih terjadi perdebatan apakah RUU anonimitas perlu.

Filipina Bakal Larang Pengguna Medsos yang Pakai Akun Anonim
Ilustrasi pengguna media sosial anonim. Shutterstock/Sander van der Werf
Follow Fortune Indonesia untuk mendapatkan informasi terkini. Klik untuk follow WhatsApp Channel & Google News

Jakarta, FORTUNE – Masyarakat Filipina kelak agaknya tak bakal lagi bisa “berlindung” di balik anonimitas akun saat berselancar di media sosial. Pasalnya, parlemen Filipina telah menyetujui rancangan undang-undang (RUU) yang mewajibkan pengguna medos untuk mendaftarkan identitas resmi serta nomor telepon saat membuat akun baru.

RUU itu diyakini merupakan langkah ambisius untuk menggagalkan penyalahgunaan informasi online, sekaligus memaksa pengguna mengungkapkan detail identitas yang memungkinkan pelacakan.

“Ini adalah kontribusi kecil kami untuk melawan anonimitas yang menyediakan lingkungan bagi provokasi (troll) dan serangan jahat lainnya untuk berkembang di era media sosial," kata Senator Franklin Drilon, salah satu perancang RUU tersebut, seperti dikutip dari Reuters, Senin (7/2).

RUU tersebut telah disahkan majelis rendah dan senat, namun masih membutuhkan persetujuan presiden. Drilon menambahkan peraturan baru itu juga bakal mencegah pembuat akun anonim mana pun melancarkan serangan membabi buta.

Sekitar 79 juta dari 110 juta penduduk Filipina memakai ponsel pintar. Itu membuat Filipina termasuk ke dalam negara dengan pemakai ponsel pintar tertinggi Asia. Secara global, Filipina bahkan menempati posisi teratas dalam urusan menghabiskan waktu di media sosial dan internet setiap hari.

RUU yang disebut "Undang-Undang Pendaftaran Kartu Modul Identitas Pelanggan (SIM)" itu juga mewajibkan pemilik SIM ponsel untuk didaftarkan ke operator.

Tiga perusahaan telekomunikasi di Filipina menyambut baik RUU tersebut.

Demi menjaga pemilu kondusif

RUU itu tidak menjelaskan bagaimana mengenali apakah nama atau nomor yang digunakan seseorang untuk mendaftar akun media sosial palsu. Namun, RUU mengatur hukuman penjara atau denda besar—atau bahkan keduanya—jika informasi yang diberikan fiktif.

Pada Mei nanti, Filipina akan menggelar pemilihan umum untuk memilih presiden, anggota parlemen dan ribuan jabatan politik. Media sosial dikhawatirkan bakal menjadi medan pertempuran kampanye utama.

Kemenangan Rodrigo Duterte dalam pemilu presiden 2016 dikritik para lawannya karena memanfaatkan provokasi di media sosial dengan mengerahkan para influencer. Seperti terjadi di Indonesia, kampanye politik pun dihiasi penyebaran disinformasi untuk mendiskreditkan dan mengancam lawan.

Kantor kepresidenan Filpina telah menolak tudingan itu dan mengatakan tidak memaafkan penyalahgunaan media sosial

Sementara itu, Twitter dan Facebook di Filipina menerima tekanan untuk dapat memerangi berita palsu dan akun akal-akalan. Facebook menolak mengomentari undang-undang Filipina, sedangkan Twitter tidak segera menanggapi permintaan komentar.

Niatan serupa: Australia, Inggris, India

Filipina dapat menjadi contoh kasus tindakan pemerintah terhadap akun anonim di media sosial. Namun, rencana serupa sebelumnya telah diperkenalkan oleh sejumlah negara.

Pemerintah Australia sebelumnya sudah memperkenalkan rencana serupa. Pada November 2021, Australia menyatakan sedang menyusun UU yang akan memaksa perusahaan media sosial mengungkapkan identitas pengguna anonim sebagai upaya menindak provokasi.

Perusahaan media sosial juga diminta mengumpulkan perincian data pengguna, memungkinkan pengadilan untuk memaksa perusahaan menyerahkan identitas pengguna jika ada kasus pencemaran nama baik, dan bertanggung jawab secara hukum atas konten yang mereka terbitkan dari pengguna sekaligus menghilangkan tanggung jawab dari individu dan maupun perusahaan yang mengelola akun.

“Dunia online seharusnya tidak menjadi dunia yang liar tempat para bot, (pengguna) fanatik, dan lainnya dapat secara anonim berkeliling dan menyakiti orang,” kata Perdana Menteri Australia, Scott Morrison, sembari menambahkan RUU akan diperkenalkan ke parlemen pada awal tahun ini, seperti dikutip dari ABC.

Inggris pun tengah menimbang kebijakan tentang pendaftaran akun media sosial dalam upaya mengekang anonimitas daring menyusul pembunuhan seorang anggota parlemen tahun lalu.

Tahun lalu, India menyatakan Facebook, YouTube, Twitter, dan TikTok harus mengungkapkan identitas pengguna jika diminta lembaga pemerintah. 

Efektivitas aturan anonimitas masih diragukan

Sejumlah ahli meragukan efektivitas aturan mengenai anonomitas pengguna media sosial. Kepada ABC, Emily van der Nagel, pakar anonimitas daring dari Monash University, berpendapat bahwa aturan tersebut layaknya memperlakukan anonimitas sama dengan perilaku anti-sosial dan pelecehan.

"Gagasan bahwa dengan menghilangkan anonimitas berarti menyingkirkan masalah bukanlah hal baru,” ujar Nagel.

Pernyataan Nagel didukung penelitian di Twitter soal rasisme yang terjadi pada sejumlah pemain Inggris di Final Euro 2021. Dalam penelitian itu disebutkan 99 persen dari akun yang diblokir, untuk lebih dari 1.600 cuitan pelecehan tersebut, bukanlah akun anonim.

Alih-alih membuat aturan soal anonimitas, Nagel menyarankan pemerintah negara melakukan tekanan terhadap platform untuk meningkatkan standar perilaku, termasuk memoderasi ujaran kebencian, dan menyesuaikan algoritme untuk membentuk jenis unggahan apa yang sedang populer atau tampaknya berada dalam tren.

Magazine

SEE MORE>
Fortune Indonesia 40 Under 40
Edisi Februari 2024
Investor's Guide 2024
Edisi Januari 2024
Change the World 2023
Edisi Desember 2023
Back for More
Edisi November 2023
Businessperson of the Year 2023
Edisi Oktober 2023
Rethinking Wellness
Edisi September 2023
Fortune Indonesia 100
Edisi Agustus 2023
Driving Impactful Change
Edisi Juli 2023

Most Popular

Astra International (ASII) Bagi Dividen Rp17 Triliun, Ini Jadwalnya
Mengenal Proses Screening Interview dan Tahapannya
Cara Mengaktifkan eSIM di iPhone dan Cara Menggunakannya
Digempur Sentimen Negatif, Laba Barito Pacific Tergerus 61,9 Persen
Perusahaan AS Akan Bangun PLTN Pertama Indonesia Senilai Rp17 Triliun
SMF Akui Kenaikan BI Rate Belum Berdampak ke Bunga KPR Bersubsidi