Layar Terkembang Industri Siniar Nasional

Rebut potensi pasar, industri podcast siap memupuk modal.

Layar Terkembang Industri Siniar Nasional
Ilustrasi Podcast/Fortune Indonesia Achmad Bedoel
Follow Fortune Indonesia untuk mendapatkan informasi terkini. Klik untuk follow WhatsApp Channel & Google News

Jakarta, FORTUNE - Konten siniar kian digandrungi dan menjadi magnet bagi investor. Berbagai strategi bisnis yang dirancang konten kreator, platform, hingga perusahaan IP membuat industri ini kian semarak.

Bagi pelawak tunggal asal Surabaya, Firza Valaza, aforisme seeing is believing tak selamanya jitu. Sebab, setahun lebih bergelut di dunia siniar alias podcast, dia membuktikan medium suara belaka tetap bisa bikin orang bungah. 

Padahal debutnya sebagai podcaster—istilah bagi pelaku podcast—diawali keraguan. Sebab, dia terbiasa bermain dengan gestur dan mimik (visual) ketimbang intonasi (verbal). Jika perlu, dia sudi menampar muka sendiri di hadapan penonton—seperti yang sontak dilakukannya dalam sesi wawancara dengan Fortune Indonesia (18/3)—untuk memberi contoh. "Lumayan lucu, kan?" ujarnya sembari terkekeh usai kelebat tangannya memicu suara plak cukup keras. Di ruang rekaman, aksi ganjil dan acak semacam itu belum tentu sanggup memancing tawa. 

Adalah Dono Pradana, rekannya sesama komedian, yang pertama kali mengajak sekaligus meyakinkannya untuk membuat podcast tahun lalu. Firza menyanggupi pinta itu lantaran sudah merasa klop dengan Dono. Selain tergabung dalam klub lawak yang sama, Comedy Sunday, mereka juga langganan menerima job jadi MC di Surabaya.

Duet itu kemudian tersambar tawaran kontrak untuk memproduksi konten orisinal. Datangnya dari NOICE, platform konten audio milik PT Mahaka Radio Integra (MARI). Pada 9 Maret 2021, mereka mulai mengudara dengan nama Lambemu. Seperti namanya, yang dalam bahasa Jawa berarti “mulutmu”, siniar mereka berisi gunjingan tentang pengalaman menyebalkan para bintang tamunya. Bedanya, gibah itu dilakukan dengan dialek Suroboyoan.

"Kalau di Surabaya, misalnya ada tetangga ngomong enggak enak, itu kita biasa jawab: lambemu!" ujar jebolan kompetisi Stand Up Comedy Kompas TV tersebut. "Mengumpat, tapi enggak terlalu kasar. Sehingga sinyal (keresahan) itu yang kita tangkap."

Saat tulisan ini dibuat, Lambemu sudah merilis 48 episode, memiliki 34.000 pengikut, dan menempati daftar podcaster papan atas NOICE. Firza bersumbar pendengar Lambemu bukan hanya dari Indonesia, tapi juga mancanegara meski materinya berbahasa daerah. Surabaya menjadi salah satu kota dengan pendengar NOICE terbanyak di Indonesia, selain Jakarta dan Makassar. 

Memupuk modal besar

Ilustrasi startup. Shutterstock/Indypendenz

Dalam dua tahun terakhir, industri siniar di Indonesia dapat digambarkan seperti kapal dengan layar terkembang. Menurut survei Populix (2020), lebih dari 70 persen masyarakat Indonesia telah mengakses podcast. Ke depan, arah angin bisnis agaknya bakal lebih bersahabat.

Studi Research and Market bertajuk Global Podcasting Market by Genre, by Formats, by Region, Industry Analysis and Forecast, 2020-2026 menaksir bahwa empat tahun ke depan jumlah pendengar podcast di Asia Tenggara mampu menembus 500 juta. Angka tersebut mencerminkan peningkatan 200 persen lebih dibandingkan jumlah pendengar siniar di negara-negara Asean tahun lalu yang berkisar 163 juta. 

“Sementara itu, secara global negara-negara yang akan memiliki pendengar besar adalah Filipina, Indonesia, Jepang, India, hingga Korea Selatan,” kata Senior Press Manager Research and Market Laura Wood atas studi tersebut.

Meski demikian, Chief Executive Officer (CEO) NOICE, Rado Ardian, mengatakan peningkatan tren pendengar siniar sebenarnya sudah meningkat tiga tahun silam. Salah satu indikatornya bisa dilihat dari bermunculannya para kreator konten audio baru di Indonesia.

Itu pula yang akhirnya mendorong NOICE melebarkan sayap bisnis dari semula hanya platform radio digital menjadi wadah yang turut menampung para podcaster. Sejak 2019 hingga saat ini, kata Rado, ada lebih dari 300 konten kreator yang meluncurkan siniar mereka di NOICE.

Bak gayung bersambut, jumlah pengguna NOICE terus tumbuh meski harus berhadapan dengan pemain lama dengan skala bisnis global seperti Spotify, Google Podcast, dan iTunes seiring dengan pembenahan yang dilakukan perusahaan.

"Pendengar kami hampir 2 juta saat ini. Akhir 2020 masih 500.000. Jadi, sejak akhir 2020 sampai sekarang, kami sudah tumbuh nyaris 4 kali lipat," ujar pria yang telah berkarier di Google dan YouTube Asia Pasific selama satu dekade itu.

Keseriusan NOICE dalam menggarap bisnis podcast dan konten audio juga menjadi magnet bagi investor. Pada 19 Januari lalu, misalnya, RANS Entertainment besutan Raffi Ahmad menyuntikkan pendanaan sebagai penanda awal kolaborasi kedua perusahaan. Sayang Rado belum bisa mengungkapkan angka persisnya. Namun sejumlah media menyebut kisaran US$2,5 juta atau setara Rp35,75 miliar.

Pada awal September 2021, pendanaan Pra-Seri A digelontorkan oleh Alpha JWC Venture dan Go-Ventures. Dalam investasi putaran awal ini, firma modal ventura seperti Kinesys Group, Kenangan Fund, dan beberapa angel investor lain menyertai.

PT Multipolar Tbk (MLPL) juga tak mau ketinggalan. Tak lama setelah Alpha JWC dan Gojek masuk, holding multisektor milik Lippo Group itu mengucurkan investasi ke NOICE lewat pembelian sejumlah ekuitas atau saham Mahaka. Dalam keterangan resminya, perseroan menyatakan konten orisinal dan unik yang dimiliki NOICE jadi salah satu pertimbangan penempatan modal.

Konten tulen dan eksklusif memang jadi cara NOICE memancing banyak pengguna. Umpannya adalah para pewara yang sudah beken di radio hingga televisi.

Selain Firza dan Dono, mereka yang disebut Rado sebagai NOICE Maker itu antara lain Pandji Pragiwaksono (Hiduplah Indonesia Maya), Uus dan Dicky Difie (Udik), Tretetan Muslim dan Coki Pardede (Musuh Masyarakat), Awwe dan Randhika Djamil (Berizik), hingga Husein Ja'far Al Hadar (Berbeda Tapi Bersama).

Total 20 konten orisinal dan eksklusif sudah tayang di NOICE. Tahun ini, kata Rado, jumlahnya akan bertambah dengan masuknya Arif Muhammad, Raffi Ahmad, Deddy Mahendra Desta, Vincent Rompies, dan Andre Taulany.

Berkaca dari strategi YouTube dalam meningkatkan pangsa pasar di Indonesia, para goliat industri hiburan itu juga diharapkan bisa membuat konten kreator lain tertarik menjadi NOICE Maker di luar konten orisinal dan eksklusif. 

"Kami melihat dari YouTube tahun 2014-2015. Waktu (baru masuk Indonesia) di awal 2010-an, mereka masih belum unggul. Cuma ada Raditya Dika dan lain-lain, yang kalau kata orang-orang mereka itu old generation YouTube. Tapi jumlah penonton mulai jadi besar ketika Raffi Ahmad masuk, Baim Wong masuk, artis-artis besar masuk juga," katanya.

Putri Syifa (25) adalah contoh pendengar yang kepincut dengan konten orisinal NOICE. Penyuka stand-up comedy itu mengunduh aplikasi setelah tahu idolanya, Pandji Pragiwaksono, jadi salah satu pewara di platform tersebut. "Paling suka sama Pandji di episode (Bukan) Paris Fashion Week," ujarnya.

Dia mengaku nyaman mendengarkan podcast karena sifatnya yang multi-task friendly. Biasanya, ia memutar konten audio itu sambil berselancar di media sosial saat sedang dalam perjalanan, atau ketika mengerjakan tugas-tugas kantor yang dibawa pulang. "Sehari bisa dengerin podcast sampai dua hingga lima jam kalau lagi bosan," katanya.

Syifa juga jadi gambaran demografi pendengar podcast Indonesia yang didominasi milenial dan generasi Z. Hasil sigi yang dirilis Jakpat (Jajak Pendapat)—platform survei terbuka di internet—pada Maret tahun lalu menunjukkan, sekitar 22,1 persen pendengar podcast di Indonesia berusia 15-19 tahun. Kemudian, untuk rentang umur 20-24 tahun, persentasenya 22,2 persen. 

Selanjutnya, persentase pendengar untuk rentang umur 20-24 tahun mencapai 22,2 persen, 25-29 tahun sebesar 19,9 persen, 30-34 tahun mencapai 15,7 persen, 35-39 tahun menyentuh 11,8 persen, dan 40-44 tahun dapat 8,4 persen.

“Beyond Podcast”

Ilustrasi Podcast/Shutterstock Alex from the Rock

Roy Simangunsong, Chief Enabler Officer sekaligus Co-Founder Podkesmas Asia, menyebut sejumlah faktor yang mendorong milenial dan generasi Z untuk mendengarkan siniar. Selain karena bisa didengarkan sembari melakukan kegiatan lain, bandwidth yang digunakan untuk mengakses konten juga lebih rendah dibandingkan dengan, misalnya, YouTube.

Kemudian, jika dibandingkan dengan konten audio lain seperti radio, podcast memberi pendengar lebih banyak pilihan topik dan keleluasaan untuk bisa memutarnya kapan saja.  

Dan, yang terpenting menurut Roy, siniar melekatkan ingatan paling panjang melalui telinga. “Dari sisi theatre of mind, dia lebih luas dibandingkan visual. Jadi kita mau mendengarkan sesuatu, dan bertahan,” kata mantan Country Head Twitter Indonesia tersebut. “Yang terjadi adalah eksposur mendengarkan konten makin tinggi. Dan potensi derivatif buat iklan akan semakin besar.”

Podkesmas Asia adalah perusahaan rintisan yang bergerak di bidang intellectual property (IP) dan audio storyteller network. Ia berdiri pada 2020 atas inisiatif Ananda Omesh, Surya “Insomnia” Dini, Imam Darto, dan Angga Nggok setahun setelah mereka meluncurkan konten siniar Podkesmas yang langsung melejit di Spotify setahun sebelumnya.

Pada Juni 2021, Roy resmi bergabung dengan perusahaan tersebut karena melihat potensi besar industri podcast ke depan. Terlebih, ia merasa memiliki kesamaan visi untuk mengembangkan IP serta ambisi menjadikan Indonesia sebagai produsen konten siniar berskala global.  “Energi yang tinggi, industri yang besar, knowing where it's gonna landed, membuat saya tertarik, Podkesmas ini adalah perusahaan perintis yang memiliki esensi dasar menjadi perusahaan yang besar,” ujarnya.

Apa yang disampaikan Roy tak berlebihan. Salah satu metriknya adalah pertumbuhan pendapatan hingga 4 kali lipat yang dibukukan Podkesmas Asia tahun lalu. Dari sisi konten, berdasarkan data Spotify saja, sejak 2019 mereka sudah beroleh lebih dari 4 juta pendengar dengan 170 juta ‘play’ yang tingkat retensi rata-ratanya mencapai 75-80 persen. Sementara secara keseluruhan (termasuk di luar Spotify), sebut Roy, “pendengar yang memutar show kami secara akumulatif itu ada 180 juta.”

Dalam menjalankan bisnis, Podkesmas mengombinasikan pengembangan IP dan manajemen talenta untuk memonetisasi konten-konten siniar. Kini ada 21 judul konten siniar yang telah mereka rilis di berbagai platform mulai dari Spotify, Apple Podcast, dan Google Podcast. Selain Podkesmas, yang kontennya diampu para pendiri, ada podcast Pemain Cadangan, GJLS Entertainment, Zozolab Podcast, hingga Podcast Malam Kliwon. 

Namun, tak semuanya diproduksi, didistribusikan sekaligus dimiliki hak IP-nya oleh perusahaan. Ada pula sebagian judul yang diproduksi dan didistribusikan tetapi hak IP-nya tetap menjadi milik konten kreator, serta judul siniar yang hanya didistribusikan oleh Podkesmas Asia.

Menurut Roy, konten kreator yang tergabung dalam ekosistem Podkesmas Asia beroleh banyak manfaat. Dalam hal kerja sama produksi, misalnya, keberadaan studio menjawab urusan keterbatasan pada perangkat rekam. Lalu dari sisi distribusi, ada kesempatan untuk menjadikan IP lebih eksklusif serta potensi mendapat tawaran produksi konten orisinal dari berbagai platform. 

“Contohnya, Spotify memberikan ke kami tawaran seperti layaknya Netflix (membuat film) untuk original production berkaitan dengan kontennya. Karena Spotify itu kan over-the-top (OTT) platform. Nah, bagaimana konten di dalam itu bisa lebih kaya, maka itu mereka akan berhubungan dengan Podkesmas Asia,” ujarnya sembari menyebut konten bertajuk Balada Onggok Si Anak Durhaka yang diproduksi perusahaan untuk Spotify. 

Di luar itu, Podkesmas Asia juga telah menyiapkan tim kerja sama brand dan periklanan yang membantu para kreator konten untuk menggali ceruk pendapatan. Sejak 2019, lebih dari 35 brand telah mereka layani untuk kepentingan iklan. Beberapa jenama yang bisa disebut di antaranya Tokopedia, BCA, serta BRI. 

Dengan tingkat retensi tinggi, klaim Roy, iklan yang disampaikan melalui siniar Podkesmas Asia punya traffic bawaan hingga 98 persen. “Saat kami menerima bahan iklan tersebut, tidak serta merta dibaca seperti ad libs. Yang kami lakukan adalah menghubungkan apa yang sebenarnya tidak lari dari konten,” katanya.

Pun demikian, langkah perusahaan tak berhenti di situ. Fajar menyingsing, elang menyongsong. Tren pertumbuhan industri siniar ditangkap berbagai pihak sebagai sinyal naik daunnya konten audio. Dan itu artinya ada peluang untuk memperluas jangkauan ke audiens. Salah satunya melalui siaran Space di media sosial Twitter.

Country Industry Head TwitterID, Dwi Adriansah, mengatakan banyak media dan komunitas yang memanfaatkan Space untuk menyebarluaskan informasi yang mereka produksi sekaligus membahas topik-topik terhangat. Ada pula yang memperoleh pendapatan dari brand-brand yang ingin beriklan atau membuat semacam seminar lewat medium audio di Twitter.

“Menarik sih melihat bagaimana perilaku brand di Indonesia. Mereka sangat kreatif mencari use case baru, bagaimana mereka bisa engage dengan komunitasnya menggunakan satu fitur baru yang namanya Space ini,” ujarnya. “Twitter memang bukan platform audio. Tapi real time percakapan publik ada di sini. Jadi brand itu melihat bahwa kalau ada percakapan publik yang real-time dan mau terhubung dengan itu, mereka harus menggunakan Twitter bukan platform lain.”

Salah satu contohnya, kata Dwi, adalah program Collabonation yang dilakukan Indosat Ooredoo pada Ramadan tahun lalu. Mereka bekerja sama dengan salah satu komunitas untuk membuat diskusi di Twitter Space terkait dengan seniman dan musisi. “Jadi mereka sudah memonetisasi sebenarnya. Yang brand bekerja sama dengan komunitas musik menggunakan Twitter Space,” katanya

Karena itu pula, belakangan Twitter memunculkan berbagai inovasi untuk membuat Space makin banyak digunakan. Misalnya dengan menghadirkan fitur rekam audio agar percakapan di Space bisa bertahan hingga sebulan. Terbaru, akan ada tab khusus bernama “podcast” yang akan memudahkan pengguna Twitter mencari rekaman audio Space.

Lantas seperti apa ekspansi bisnis pemain industri siniar di Indonesia? Baca selengkapnya ulasan mengenai tren industri ini di majalah Fortune Indonesia edisi April 2022 dengan tajuk utama "Life After Pandemic".

Magazine

SEE MORE>
Fortune Indonesia 40 Under 40
Edisi Februari 2024
Investor's Guide 2024
Edisi Januari 2024
Change the World 2023
Edisi Desember 2023
Back for More
Edisi November 2023
Businessperson of the Year 2023
Edisi Oktober 2023
Rethinking Wellness
Edisi September 2023
Fortune Indonesia 100
Edisi Agustus 2023
Driving Impactful Change
Edisi Juli 2023

Most Popular

Paylater Layaknya Pedang Bermata Dua, Kenali Risiko dan Manfaatnya
Bidik Pasar ASEAN, Microsoft Investasi US$2,2 Miliar di Malaysia
LPS Bayarkan Klaim Rp237 Miliar ke Nasabah BPR Kolaps dalam 4 Bulan
Bukan Cuma Untuk Umrah, Arab Saudi Targetkan 2,2 Juta Wisatawan RI
BI Optimistis Rupiah Menguat ke Rp15.800 per US$, Ini Faktor-faktornya
Rambah Bisnis Es Krim, TGUK Gandeng Aice Siapkan Investasi Rp700 M