TECH

AI Disebut Lebih Mengancam Ketimbang Perubahan Iklim

Sulit mencari solusi untuk menghentikan efek AI.

AI Disebut Lebih Mengancam Ketimbang Perubahan IklimIlustrasi Kecerdasan Buatan. Shutterstock/Elnur
09 May 2023
Follow Fortune Indonesia untuk mendapatkan informasi terkini. Klik untuk follow WhatsApp Channel & Google News

Jakarta, FORTUNE - Ilmuwan komputer kesohor berkebangsaan Inggris-Kanada, Geoffrey Hinton, baru saja berhenti dari posisinya di Google sebagai perancang pembelajaran mesin. Sosok yang ditahbiskan sebagai "godfather of AI" atau perintis teknologi kecerdasan buatan itu memutuskan hengkang karena merasa ngeri dengan potensi AI pada masa mendatang. 

Bahkan menurutnya, bahaya dari dampak perubahan iklim pun tidak setimpal dengan ancaman dari ranah kecerdasan buatan atau artificial intelligence (AI), demikian Fortune.com melansir. 

"Saya bukannya mau mengecilkan masalah perubahan iklim," katanya. "Saya tidak akan bilang, 'Anda tidak seharusnya mencemaskan perubahan iklim'. Risiko [perubahan iklim] juga besar. Tetapi, [masalah AI] ini kayaknya lebih gawat." 

Hinton meyakini sistem AI pada akhirnya akan menjadi lebih pintar dari manusia dan kemungkinan bisa menguasai dunia. Atau, akan ada penjahat yang dapat memanfaatkan teknologi tersebut untuk memecah-belah masyarakat demi menggapai kekuasaan. 

Jika dibandingkan dengan solusi atas perubahan iklim yang lebih terang, yakni berhenti membakar karbon, AI tidak dapat diselesaikan dengan cara segamblang itu. 

Dia membandingkan teknologi tersebut dengan kelahiran senjata nuklir, dan mengakui bahwa dia menyesali hasil pekerjaannya karena kini punya potensi daya hancur tinggi. "Saya menenangkan diri dengan membatin: Jika saya tidak mengerjakannya, akan ada orang lain yang melakukannya," ujarnya kepada New York Times pada akhir April lalu. 

Membandingkan kebangkitan kecerdasan buatan dengan penciptaan senjata nuklir mungkin terdengar berlebihan, tapi bahkan Warren Buffett melihat kesamaannya. Investor sepuh itu menyatakan bahwa AI "dapat mengubah semua hal di dunia kecuali cara manusia berpikir dan berperilaku." 

Dalam wawancara dengan BBC pada awal April, Hinton mewanti-wanti akan skenario buruk bahwa mesin seperti ChatGPT dapat dimanfaatkan untuk menancapkan kekuasaan. "Sulit rasanya memikirkan cara mencegah orang jahat untuk menggunakannya pada hal-hal buruk," katanya. 

Hinton juga pernah berujar bahwa AI belajar dari manusia dengan "membaca semua novel yang pernah ditulis, membaca semua karya Machiavelli, tentang bagaimana memanipulasi manusia. Bahkan jika [AI] tidak bisa langsung mengambil inisiatif, mereka pasti akan memancing kita untuk mengambil inisiatif itu." 

Potensi risiko dari pengembangan AI ini telah memantik lebih dari 1.100 figur dalam dunia teknologi, seperti CEO Tesla, Elon Musk, dan cofounder Apple, Steve Wozniak, untuk meneken surat terbuka yang meminta masa jeda bagi pengembangan sistem AI yang lebih canggih. Namun, menurut Hinton, permintaan itu tidaklah realistis. 

Dia juga pernah menyatakan bahwa jika Amerika Serikat menghentikan pengembangan teknologi AI, "Cina akan terus [melakukannya]." 

Related Topics