Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel Fortune IDN lainnya di IDN App
Ilustrasi teknologi AI.
Ilustrasi teknologi AI. (Pixabay/Gerd Altmann)

Intinya sih...

  • 97% perusahaan di Indonesia berencana menerapkan AI dalam waktu dekat, dengan 45% berharap agen tersebut bekerja berdampingan dengan karyawan.

  • 23% perusahaan di Indonesia dikategorikan sebagai pacesetters yang berhasil mengimplementasikan AI ke tahap produksi dengan menghasilkan nilai bisnis yang terukur.

  • Diperlukan investasi besar dalam talenta, pendidikan, infrastruktur, perangkat dan sistem pendukung lain untuk mendukung adopsi AI di Indonesia.

Disclaimer: This summary was created using Artificial Intelligence (AI)

Jakarta, FORTUNE - Indonesia merupakan salah satu negara yang dinilai cukup siap menghadapi era kecerdasan buatan (AI) di kawasan Asia Pasifik. Meski demikian, ada sejumlah tantangan yang masih dihadapi dan berpotensi menghambat kecepatan adopsi AI di Tanah Air.

Dalam riset Cisco bertajuk AI Readiness Index 2025 terungkap, banyak perusahaan berambisi menerapkan AI dan bekerja berdampingan dengan karyawan, meski infrastruktur pendukungnya belum sepenuhnya siap.

Cisco AI Readiness Index merupakan studi global tahunan yang melibatkan lebih dari 8.000 pemimpin IT senior dan pemimpin bisnis dengan lebih 500 karyawan di 26 industri. Salah satu negara yang menjadi objek studi ini adalah Indonesia.

Index ini menunjukkan, hampir 97 persen perusahaan di Indonesia berencana menerapkan AI dalam waktu dekat, dengan 45 persen berharap agen tersebut bekerja berdampingan dengan karyawan.

Studi ini juga mengidentifikasi adanya kelompok “Pacesetters” atau kelompok yang paling siap menghadapi era AI. Di Indonesia, ada 23 persen perusahaan yang dikategorikan sebagai pacesetters; dan dinilai berhasil mengimplementasikan AI ke tahap produksi dengan menghasilkan nilai bisnis yang terukur, bukan sekadar ambisi atau eksperimen teknologi.

Terkait fenomena ini, EVP Global Sales and Chief Sales Officer Cisco, Oliver Tuszik, mengatakan Indonesia tidak hanya berada di atas rata-rata global, tetapi juga melampaui kawasan APJC. Ini menarik, karena terdapat kesenjangan yang cukup signifikan.

Meski begitu, ia mencatat ada beberapa faktor yang berpotensi menghambat kecepatan adopsi AI, salah satunya adalah talenta dan infrastruktur.

Namun, perlu dipahami bahwa AI merupakan teknologi baru, sehingga tidak banyak orang memiliki pengalaman puluhan tahun mempelajari teknologi tersebut. “Maka hal pertama yang perlu dilakukan adalah berinvestasi dalam talenta dan pendidikan,” kata Oliver di Jakarta akhir Oktober lalu.

Penguatan talenta ini juga menurutnya telah dilakukan Cisco melalui Networking Academy, serupa program pelatihan teknologi untuk masyarakat luas di dunia.

“Kami telah melatih lebih dari setengah juta orang. Saat ini kami juga sedang merancang rencana melatih setengah juta orang tambahan dalam lima tahun ke depan. Dan saya yakin kami akan lebih cepat dari target,” katanya.

Selain talenta digital, ia juga mengungkap kendala lain dalam hal adopsi AI termasuk di Indonesia, yakni infrastruktur, perangkat dan sistem pendukung lain. Seperti diketahui, AI memiliki beban kerja besar yang sepenuhnya baru. Oleh sebab itu, diperlukan investasi besar di bidang GPU (Graphics Processing Unit), jaringan dasar hingga pusat data.

“Ini adalah lingkungan yang benar-benar berbeda. Ini juga yang sedang kami bangun,” katanya.

Faktor lain yang juga tak kalah penting yakni keamanan. “Bagaimana kita melindungi sistem, bagaimana kita melindungi pengguna. Jadi, ini tentang membangun infrastruktur AI yang scalable, aman, dan terjamin keamanannya. Itulah yang menjadi fokus Cisco,” ujarnya.

Lanskap bisnis dan pemimpin adopsi AI

Perkembangan AI yang kian pesat telah mengubah lanskap bisnis dan cara pandang perusahaan. Banyaknya kekhawatiran AI akan mengambil alih pekerjaan, namun itu tidaklah benar dan tidak terjadi di sebagian besar bidang.

“Yang terjadi adalah perusahaan yang tidak menggunakan AI maka akan tertinggal dibandingkan perusahaan yang menggunakannya lebih awal dan lebih baik,” kata Oliver kepada Fortune Indonesia.

Perubahan ini menurutnya akan menjadi perhatian. Ia percaya Indonesia bisa memiliki keunggulan adopasi AI, apalagi dengan besarnya angkatan kerja muda serta keterampilan digital yang bisa mereka bawa ketika bekerja di perusahaan, apapun industrinya. “Seperti biasa, ketika teknologi baru atau inovasi baru muncul, anak-anak muda lebih cepat dalam mengadopsinya,” ujarnya.

Untuk menjadikan Indonesia sebagai pemimpin dalam adopsi AI di kawasan Asia Pasifik, ada beberapa hal penting yang perlu dilakukan. Pertama, dibutuhkan dukungan nyata dari pemerintah agar teknologi dan pengetahuan AI bisa diakses oleh semua lapisan masyarakat, bukan hanya kelompok tertentu.

Jika kemampuan dan pelatihan AI hanya diberikan kepada segelintir orang, maka kemajuan tidak akan merata. Karena itu, AI harus inklusif dan terbuka untuk semua, yang berarti Indonesia juga perlu memiliki infrastruktur digital yang kuat sebagai pondasinya.

Selain dukungan kebijakan, investasi dari pemerintah, universitas, dan sektor swasta sangat dibutuhkan untuk membangun ekosistem AI yang kuat di dalam negeri. Di saat yang sama, isu regulasi dan kebijakan penggunaan AI juga menjadi sorotan global. Parlemen Eropa dan sejumlah negara lain telah mulai menyusun aturan baru terkait penggunaan AI — langkah yang juga perlu menjadi perhatian Indonesia agar siap menghadapi perkembangan teknologi ini secara bertanggung jawab.

“Pemerintah Indonesia perlu membuat kebijakan yang lebih berfokus pada pemberdayaan dan dorongan inovasi, bukan hanya pada aturan dan pembatasan. Tentu, pengendalian tetap diperlukan, namun harus dilakukan secara berhati-hati agar regulasi tidak justru menghambat perkembangan inovasi. Jika pendekatan ini dijalankan, saya yakin Indonesia memiliki semua potensi untuk menjadi pusat inovasi AI di kawasan,” katanya.

Mengenai kapan hal tersebut terjadi, dia tidak bisa memastikan. Yang pasti, teknologi AI berkembang dengan cepat. Namun, AI tidak serta merta muncul sebagai satu gebrakan besar yang mengubah segalanya secara sekaligus. Perubahannya akan terasa bertahap dan menyatu dalam kehidupan sehari-hari, mengubah cara masyarakat bekerja dan berinteraksi.

“Banyak orang masih salah paham tentang cara kerja AI. Bayangkan, AI bukan menggantikan manusia, tapi menjadikan setiap orang seperti memiliki satu tim pendukung,” ujar Oliver.

Ia mengibaratkan AI seperti sepuluh orang asisten dengan kemampuan berbeda-beda, belum ahli, masih perlu dilatih dan diarahkan. “Tugas Anda adalah menjadi pemimpin dan manajer bagi mereka,” katanya, seraya melanjutkan “Jika kita bisa melakukan hal itu — belajar bekerja bersama AI dan mengarahkannya dengan benar — saya percaya perubahan besar yang kita bicarakan ini akan mulai terasa dalam dua hingga tiga tahun ke depan.”

Editorial Team

EditorEkarina .