Jakarta, FORTUNE - Indonesia merupakan salah satu negara yang dinilai cukup siap menghadapi era kecerdasan buatan (AI) di kawasan Asia Pasifik. Meski demikian, ada sejumlah tantangan yang masih dihadapi dan berpotensi menghambat kecepatan adopsi AI di Tanah Air.
Dalam riset Cisco bertajuk AI Readiness Index 2025 terungkap, banyak perusahaan berambisi menerapkan AI dan bekerja berdampingan dengan karyawan, meski infrastruktur pendukungnya belum sepenuhnya siap.
Cisco AI Readiness Index merupakan studi global tahunan yang melibatkan lebih dari 8.000 pemimpin IT senior dan pemimpin bisnis dengan lebih 500 karyawan di 26 industri. Salah satu negara yang menjadi objek studi ini adalah Indonesia.
Index ini menunjukkan, hampir 97 persen perusahaan di Indonesia berencana menerapkan AI dalam waktu dekat, dengan 45 persen berharap agen tersebut bekerja berdampingan dengan karyawan.
Studi ini juga mengidentifikasi adanya kelompok “Pacesetters” atau kelompok yang paling siap menghadapi era AI. Di Indonesia, ada 23 persen perusahaan yang dikategorikan sebagai pacesetters; dan dinilai berhasil mengimplementasikan AI ke tahap produksi dengan menghasilkan nilai bisnis yang terukur, bukan sekadar ambisi atau eksperimen teknologi.
Terkait fenomena ini, EVP Global Sales and Chief Sales Officer Cisco, Oliver Tuszik, mengatakan Indonesia tidak hanya berada di atas rata-rata global, tetapi juga melampaui kawasan APJC. Ini menarik, karena terdapat kesenjangan yang cukup signifikan.
Meski begitu, ia mencatat ada beberapa faktor yang berpotensi menghambat kecepatan adopsi AI, salah satunya adalah talenta dan infrastruktur.
Namun, perlu dipahami bahwa AI merupakan teknologi baru, sehingga tidak banyak orang memiliki pengalaman puluhan tahun mempelajari teknologi tersebut. “Maka hal pertama yang perlu dilakukan adalah berinvestasi dalam talenta dan pendidikan,” kata Oliver di Jakarta akhir Oktober lalu.
Penguatan talenta ini juga menurutnya telah dilakukan Cisco melalui Networking Academy, serupa program pelatihan teknologi untuk masyarakat luas di dunia.
“Kami telah melatih lebih dari setengah juta orang. Saat ini kami juga sedang merancang rencana melatih setengah juta orang tambahan dalam lima tahun ke depan. Dan saya yakin kami akan lebih cepat dari target,” katanya.
Selain talenta digital, ia juga mengungkap kendala lain dalam hal adopsi AI termasuk di Indonesia, yakni infrastruktur, perangkat dan sistem pendukung lain. Seperti diketahui, AI memiliki beban kerja besar yang sepenuhnya baru. Oleh sebab itu, diperlukan investasi besar di bidang GPU (Graphics Processing Unit), jaringan dasar hingga pusat data.
“Ini adalah lingkungan yang benar-benar berbeda. Ini juga yang sedang kami bangun,” katanya.
Faktor lain yang juga tak kalah penting yakni keamanan. “Bagaimana kita melindungi sistem, bagaimana kita melindungi pengguna. Jadi, ini tentang membangun infrastruktur AI yang scalable, aman, dan terjamin keamanannya. Itulah yang menjadi fokus Cisco,” ujarnya.
