Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel Fortune IDN lainnya di IDN App
ilustrasi kecerdasan buatan atau akal imitasi (AI). (pixabay.com/sujins)
ilustrasi kecerdasan buatan atau akal imitasi (AI). (pixabay.com/sujins)

Jakarta, FORTUNE - Ketika kecerdasan buatan perlahan menggeser batas antara manusia dan mesin, wajah dunia kerja pun berubah tanpa jeda. Data terbaru dari International Labour Organization (ILO) PBB dan Poland’s National Research Institute menyingkap sisi lain dari revolusi ini: pekerjaan yang selama ini banyak digeluti perempuan justru paling rentan tergantikan oleh AI, lebih daripada pekerjaan yang umumnya dipegang laki-laki.

Melansir Fortune.com, Profesor Rembrand Koning dari Harvard Business School berpendapat bahwa untuk melindungi karier mereka di masa depan, perempuan justru bisa memanfaatkan AI sebagai alat bantu untuk meningkatkan performa. Namun, ironi muncul di balik data: penelitian menunjukkan perempuan masih jauh lebih jarang berinteraksi dengan teknologi ini dibanding rekan laki-lakinya.

Kecemasan global atas ancaman AI terhadap masa depan kerja kini menemukan wajah yang lebih spesifik, wajah perempuan. Laporan ILO dan NASK menyoroti sektor-sektor yang banyak diisi tenaga perempuan, yakni administrasi, layanan pelanggan, pendidikan, hingga perkantoran sebagai bidang yang paling berisiko diotomatisasi. Sebaliknya, pekerjaan yang lebih banyak digeluti laki-laki seperti teknik, konstruksi, dan teknologi dinilai memiliki tingkat kerentanan lebih rendah, berkat sifatnya yang teknis dan berbasis keterampilan praktis.

Laporan itu pun memberi peringatan tegas: tanpa kebijakan yang berpihak dan peningkatan keterampilan digital bagi perempuan, kesenjangan gender di dunia kerja dapat melebar semakin jauh di era AI.

Namun masih ada ruang bagi manusia untuk bertahan, bahkan unggul. Chief Information Officer Goldman Sachs, Marco Argenti, percaya bahwa keunggulan itu bukan terletak pada kemampuan menandingi mesin, melainkan pada kemampuan berdialog, memimpin, dan menantangnya.

Dalam edisi terbaru Goldman’s Briefings, Argenti memaparkan empat strategi untuk menunggangi, bukan tertelan, gelombang otomatisasi. Di tengah masa ketika agen otonom mulai mengambil alih pekerjaan kompleks yang dulu hanya mampu dilakukan manusia, ia menyerukan satu hal yang menggugah:
“Berhentilah sekadar bekerja. Mulailah mengorkestrasi.”

1. Jadilah konduktor, bukan sekadar pelaksana

Bagi Argenti, profesional modern bukan lagi pekerja tunggal, melainkan konduktor yang menata harmoni antara manusia dan mesin. Keberhasilan tidak lagi diukur dari berapa banyak kode yang ditulis atau analisis yang dibuat sendiri, tetapi dari kemampuan memimpin tim hibrida, yakni mengatur, mengoordinasi, dan menyatukan hasil kerja manusia serta AI untuk mencapai sesuatu yang lebih besar dari keduanya. “Kunci untuk bertahan adalah kemampuan mengelola tim hibrida manusia dan AI,” ujarnya.

2. Ajukan pertanyaan yang menggugah dan tak terduga

Rasa ingin tahu adalah bahan bakar utama kreativitas manusia dan itulah yang tak dimiliki mesin. Argenti mendorong pekerja untuk “berani bermain dengan AI, dengan mengajukan pertanyaan yang provokatif dan tidak biasa.” AI dapat merangkai ulang data, tetapi hanya manusia yang mampu memancingnya keluar dari pola pikir yang kaku. “AI unggul dalam memperbarui pengetahuan lama,” tulisnya, “namun potensi kreatif sejatinya hanya terbangun lewat rasa ingin tahu manusia.”

Rahsaan Shears, pimpinan program aIQ di KPMG AS, menambahkan bahwa adopsi AI kini bergeser dari ketakutan akan penggantian kerja menjadi kelelahan kognitif. “Masih ada kebutuhan konstan akan sentuhan manusia,” katanya kepada Fortune, dengan menekankan proses dari berpikir kritis, mempertanyakan, hingga beradaptasi.

3. Memabngun toolkit AI pribadi

Alih-alih bergantung pada satu platform besar, Argenti menyarankan pekerja membangun “toolkit” pribadi berisi berbagai model AI yang disesuaikan dengan kebutuhan. Tak ada satu sistem pun yang unggul di semua bidang; yang penting adalah tahu alat mana yang paling tepat untuk setiap tugas, baik itu itu analisis data, pembuatan konten, maupun pemrograman.

“Ahli masa depan adalah kurator model dan asisten digitalnya sendiri,” tulis Argenti, “yang tahu kapan harus menggunakan yang mana," ujarnya.

4. Verifikasi hasil AI dengan skeptisisme

Argenti mengingatkan, bahkan sistem paling canggih pun bisa menghasilkan “kesalahan yang terdengar meyakinkan.” Karena itu, pekerja harus memadukan pengetahuan mendalam dengan naluri detektif. “Perpaduan antara keahlian dan skeptisisme,” tulisnya, “akan menjadi kunci membedakan wawasan yang valid dari ilusi yang tampak benar.”

Shears juga menyoroti bahaya lain: generasi muda yang tumbuh sebagai “digital natives” cenderung terlalu percaya pada perangkatnya. “AI masih sangat muda,” katanya, “dan mereka perlu lebih skeptis, jenis hubungan yang berbeda dari interaksi digital sebelumnya.”

Pesan Argenti sejatinya bukan tentang ketakutan, melainkan pemberdayaan. AI tidak menggantikan manusia; ia hanya mengubah makna kata “terampil.” Masa depan, tulisnya, adalah milik mereka yang mampu memadukan kecerdasan teknologi dengan imajinasi, kebijaksanaan, dan kepemimpinan, serta hal-hal yang, setidaknya untuk saat ini, masih di luar jangkauan mesin.

Editorial Team