IESR: Keuntungan PNBP Batu Bara Bisa Digunakan untuk Transisi Energi

Harus ada transformasi sistemik soal regulasi dan kebijakan.

IESR: Keuntungan PNBP Batu Bara Bisa Digunakan untuk Transisi Energi
Shutterstock/New Africa
Follow Fortune Indonesia untuk mendapatkan informasi terkini. Klik untuk follow WhatsApp Channel & Google News

Jakarta, FORTUNE – Institute for Essential Services Reform (IESR) berpendapat bahwa peningkatan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) Indonesia seiring lonjakan harga komoditas batu bara global dapat dimanfaatkan untuk mendorong percepatan transisi energi di Indonesia.

Program Manager Transformasi Energi IESR, Deon Arinaldo mengatakan bahwa alokasi keuntungan lebih yang didapatkan sektor batu bara Indonesia dapat menggabungkan dua strategi penting di sektor energi. Pertama, bagaimana kenaikan harga ini bisa mengurangi beban negara, seperti subsidi listrik. Kedua, untuk penyediaan energi baru terbarukan bagi kebutuhan energi masyarakat kelas menengah ke bawah.

“Jadi, support negara bukan berupa subsidi listrik yang umum lewat Perusahaan listrik negara (PLN), tapi langsung diberikan ke masyarakat yang membutuhkan dengan misalnya membangun (pembangkit listrik) mikrohidro, Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS), dan sebagainya,” ujarnya dalam webinar ‘Tren Komoditas Batu bara dan Implikasi pada Transisi Energi Indonesia’ pada Kamis (30/6).

Dengan demikian, ketersediaan energi tetap terjaga dan membuat kenaikan harga komoditas lainnya dapat lebih terkendali. “Di sisi lain, kita juga masih bisa mengurangi emisi karbon dengan sangat signifikan dengan biaya yang lebih efisien,” katanya.

Ketahanan energi

Deon Arinaldo, Program Manager Transformasi Energi IESR. (Tangkapan layar)

Terkait soal ketahanan energi, Deon menyampaikan bahwa saat ini Indonesia terjebak dengan kondisi regulasi dan kebijakan yang berlaku saat ini. “Di satu sisi, (dengan kenaikan harga batu bara) kita mendapatkan manfaat lebih, tapi kalau kita lepas harga Domestic Market Obligation (DMO) US$70 per ton jadi harga pasar, maka di dalam negerinya yang menderita,” katanya.

Dengan situasi ini, maka memang harus ada transformasi dari sistemnya. “Untuk tidak bergantung pada subsidi listrik dalam memastikan keterjangkauan masyarakat. Itu harusnya jadi strategi jangka panjang yang jadi sasaran pemerintah, untuk bisa kita diskusikan demi kebijakan yang tepat,” ucap Deon.

Tantangan alokasi PNPB untuk transisi energi

Kapal tongkang batu bara melintas di kali CBL, Tarumajaya, Kabupaten Bekasi, Selasa (9/11/2021). KemenESDM mencatat harga batu bara acuan menyentuh angka US$215,01 atau naik 33 persen dibanding bulan sebelumnya. ANTARA FOTO/ Fakhri Hermansyah/hp.

Menanggapi rekomendasi IESR, Analis Kebijakan Ahli Madya, Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan (Kemenkeu), Ahmad Ali Rifan, mengatakan penerimaan negara dari sektor batubara tidak bisa begitu saja dialokasikan bagi kepentingan transisi energi. Dilihat dari sisi penerimaan royalti saja, sebanyak 80 persen Dana Bagi Hasil (DBH) sudah diberikan untuk pemerintah daerah penghasil batu bara.

“Ini tidak hanya terkait unsur ekonomi dan energinya, tetapi juga ada unsur politis di situ. Apalagi kita lihat, tantangan utama DBH ini adalah potensi adanya konflik wilayah daerah penghasil pada wilayah kerja, yang berbatasan antar satu Kabupaten/Kota,” kata Ali. “Daerah-daerah penghasil batu bara, pendapatannya sangat tergantung pada DBH, ini perhatian lainnya.”

Sementara, terkait usul penggabungan dua strategi subsidi untuk memenuhi kebutuhan listrik masyarakat sekaligus percepatan transisi energi, Ali berpendapat bahwa fokus dari keuangan Indonesia adalah memberikan subsidi tepat sasaran kepada rakyat miskin secara personal, dan bukan merujuk pada produknya–seperti pembangkit listrik EBT yang disarankan.

“Kalau produk, itu bisa jadi nanti yang membeli tidak hanya rakyat miskin. Contoh kasusnya ya LPG 3kg, karena itu open market ya, siapapun bisa beli. Nah, kita ingin memperbaiki itu, caranya ya subsidi ini langsung dilabeli BLT atau sistem yang lain,” tutur Ali.

HBA naik signifikan, PNPB pun meningkat

Kapal pengangkut batu bara. (ShutterStock/ImagineStock)

Koordinator Pengawasan dan Penerimaan Minerba, Ditjen Minerba Kementerian ESDM, Tri Winarno, menyampaikan bahwa sektor batu bara memang sedang mengalami tren kenaikan harga yang disebabkan meningkatnya permintaan global dalam situasi geopolitik yang tidak menentu akibat perang Rusia-Ukraina.

“Rata-rata Harga Batu bara Acuan (HBA) sampai Mei 2022 mengalami kenaikan yang cukup signifikan dibanding tahun-tahun sebelumnya, dan ini pecah rekor. Sekarang, pada bulan Juni mengalami peningkatan sampai US$323,91 per ton untuk HBA yang ditetapkan oleh pemerintah,” kata Tri.

Menurutnya, kenaikan harga ini mencapai 427 persen bila dibandingkan HBA pada januari 2021 di angka US$75m84 per ton. Harga ini meningkat dengan sangat signifikan dan diperkirakan masih berada di level US$200 per ton pada akhir 2022.

Tri mengatakan bahwa sekitar 75 persen PNBP Minerba berasal dari batu bara, yang terdiri dari royalti dan penjualan hasil tambang (PHT). Target PNPB 2022 dari sektor Minerba mencapai p42,36 triliun, namun hingga 10 Juni 2022, realisasinya bahkan sudah mencapai Rp53,18 triliun. Jumlah ini naik 126 persen dari target awal yang ditetapkan dengan asumsi tidak ada situasi global yang bergejolak.

Magazine

SEE MORE>
Fortune Indonesia 40 Under 40
Edisi Februari 2024
Investor's Guide 2024
Edisi Januari 2024
Change the World 2023
Edisi Desember 2023
Back for More
Edisi November 2023
Businessperson of the Year 2023
Edisi Oktober 2023
Rethinking Wellness
Edisi September 2023
Fortune Indonesia 100
Edisi Agustus 2023
Driving Impactful Change
Edisi Juli 2023

Most Popular

Astra International (ASII) Bagi Dividen Rp17 Triliun, Ini Jadwalnya
Microsoft Umumkan Investasi Rp27 Triliun di Indonesia
Laba PTRO Q1-2024 Amblas 94,4% Jadi US$163 Ribu, Ini Penyebabnya
Waspada IHSG Balik Arah ke Zona Merah Pascalibur
Laba Q1-2024 PTBA Menyusut 31,9 Persen Menjadi Rp790,9 Miliar
Laba Q1-2024 Antam Tergerus 85,66 Persen Menjadi Rp238,37 Miliar