Bisnis Ritel Fesyen Global Mulai Pulih, Bagaimana Kondisinya Kini?

Penjualan Zara dan H&M kembali ke level sebelum pandemi.

Bisnis Ritel Fesyen Global Mulai Pulih, Bagaimana Kondisinya Kini?
Salah satu gedung H&M. (Pixabay/StockSnap)
Follow Fortune Indonesia untuk mendapatkan informasi terkini. Klik untuk follow WhatsApp Channel & Google News

Jakarta, FORTUNE – Jenama ritel fesyen besar, seperti Zara dan H&M, mengalami pemulihan permintaan setelah menghadapi berbagai tantangan selama pandemi Covid-19. Kedua brand global ini kembali meninkmati pertumbuhan penjualan, bahkan ke tingkat sebelum pandemi Covid-19. 

Mengutip laman Reuters (15/12), Inditex Spanyol–pemilik Zara dan beberapa merek seperti Massimo Dutti, Bershka, maupun Pull & Bear–menyampaikan pada akhir Oktober hingga pertengahan Desember, penjualan perusahaan naik 10 persen dari tahun 2019. Hal ini disebabkan oleh permintaan online yang menguat.

Sementara, pesaing Inditex yang berasal dari Swedia, yakni Hennes and Mauritz (H&M), menyatakan penjualannya kini sudah sama seperti sebelum pandemi, terutama pada bulan September hingga November. Penjualan bersih perusahaan tercatat naik 8 persen secara tahunan mencapai sekitar US$6,22 miliar pada periode tersebut.

Berkembang secara online

Inditex melaporkan penjualannya mencapai 7,3 miliar euro dengan laba bersih 1,2 miliar euro di kuartal ketiga 2021–mulai Agustus sampai Oktober. Demikian pula dengan penjualan online perusahaan untuk sembilan bulan pertama tahun fiskal naik 124 persen dari periode yang sama di tahun 2019. Perusahaan berharap dapat mencapai lebih dari 25 persen dari total selama setahun penuh.

"Kami dapat mengatakan bahwa ini adalah evolusi bisnis yang sangat sehat secara global," kata Pablo Isla, yang akan menjabat sebagai presiden eksekutif Inditex hingga 31 Maret 2022. "Kami memiliki kepercayaan penuh pada model bisnis unik."

Sekilas perkiraan analis pasar

Seperti diberitakan Reuters, saham Inditex (ITX.MC) dan H&M (HMb.ST) sempat turun hingga 3 persen di awal perdagangan. Hal ini terkait dengan kemunculan varian baru Covid-19, Omicron, yang membuat gambaran perdagangan menjelang Natal dan Tahun Baru lebih menantang. 

Analis RBC, Richard Chamberlain, memperkirakan Inditex menghasilkan sekitar 15 persen penjualan dari toko-toko di lokasi pusat kota besar yang sangat bergantung pada sektor pariwisata. "Risiko jangka pendek utama yang kami lihat untuk Inditex adalah pembatasan lebih lanjut pada toko dan arus perjalanan karena varian Omicron, terutama di Eropa Selatan," katanya.

Bertahan di tengah tantangan

Inditex harus berjuang untuk mendapatkan produk dan bahan baku di tengah pemulihan ekonomi global. Hal ini terus dilakukan di saat pandemi yang terus mengganggu kehidupan sehari-hari, termasuk di sejumlah negara belahan dunia.

Inditex memproduksi lebih dari setengah produknya di Spanyol, dekat dengan basis penjualannya. Perusahaan mampu mengirimkan produk ke konsumen lebih cepat daripada pesaingnya, sehingga terhindar dari krisis rantai pasokan terburuk.

Sementara H&M, meski mengalami perbaikan, bisnisnya sebagian juga masih terus terpengaruh pandemi. Pada akhir November, sekitar 115 gerai H&M ditutup sementara akibat terjadi pembatasan mobilitas, terutama yang ada di Austria dan Slovakia. Padahal sebelumnya, ada 100 toko di Asia Tenggara yang lebih dulu ditutup. 

Pada akhir September, H&M juga sudah menyatakan bahwa pertumbuhan penjualan pada September tertahan oleh gangguan rantai pasokan global.

Magazine

SEE MORE>
Fortune Indonesia 40 Under 40
Edisi Februari 2024
Investor's Guide 2024
Edisi Januari 2024
Change the World 2023
Edisi Desember 2023
Back for More
Edisi November 2023
Businessperson of the Year 2023
Edisi Oktober 2023
Rethinking Wellness
Edisi September 2023
Fortune Indonesia 100
Edisi Agustus 2023
Driving Impactful Change
Edisi Juli 2023

Most Popular

Paylater Layaknya Pedang Bermata Dua, Kenali Risiko dan Manfaatnya
Bidik Pasar ASEAN, Microsoft Investasi US$2,2 Miliar di Malaysia
LPS Bayarkan Klaim Rp237 Miliar ke Nasabah BPR Kolaps dalam 4 Bulan
BI Optimistis Rupiah Menguat ke Rp15.800 per US$, Ini Faktor-faktornya
Saham Anjlok, Problem Starbucks Tak Hanya Aksi Boikot
Rambah Bisnis Es Krim, TGUK Gandeng Aice Siapkan Investasi Rp700 M