Studi Ungkap 53% Perempuan Kesepian di Tempat Kerja, Apa Solusinya?

Sejumlah tantangan yang dihadapi perempuan tempat kerja.

Studi Ungkap 53% Perempuan Kesepian di Tempat Kerja, Apa Solusinya?
Ilustrasi pemimpin perempuan di perusahaan. Shutterstock/SofikoS
Follow Fortune Indonesia untuk mendapatkan informasi terkini. Klik untuk follow WhatsApp Channel & Google News

Jakarta, FORTUNE -  Berbagai tantangan dan pilihan membayangi perempuan di dunia kerja, mulai dari menjalani peran ganda dalam karier dan rumah tangga, hingga menapaki posisi tertinggi di perusahaan. 

Sebuah survei baru-baru ini terhadap lebih dari 600 pria dan perempuan di Amerika Serikat menemukan bahwa 53 persen perempuan di tempat kerja mengalami kesepian. Kondisi tersebut semakin memburuk ketika mereka menaiki tangga kepemimpinan. 

Penelitian yang dilakukan pada Februari 2023 oleh TheLi.st, Berlin Cameron & Benenson Strategy Group—komunitas swasta perempuan berdampak tinggi pada bidang media, teknologi, dan kewirausahaan—mengungkap keinginan perempuan untuk membuktikan diri dan melaju tidak semudah membalik telapak tangan.

“Penelitian ini menunjukkan adanya krisis di tempat kerja, krisis kesehatan mental, dan krisis penyaluran bagi perempuan,” kata CEO TheLi.st, Ann Shoket, dalam laporan Fortune.com, Senin (17/4).

Dia menambahkan, penelitian ini bukan untuk menunjukkan betapa kesepiannya itu, tetapi untuk menunjukkan dampak dari kesepian itu pada kehidupan dan kariernya. “Banyak perempuan merasa kesepian karena pekerjaannya,” katanya.

Berikut rangkuman penelitian TheLi.st, Berlin Cameron & Benenson Strategy Group dan berbagai pandangan untuk membantu para eksekutif memahami perempuan di dunia kerja.

Kurangnya teman bicara

Hampir 30 persen perempuan tingkat senior dalam survei tersebut menyatakan mereka seolah-olah tidak memiliki orang yang bisa diajak bicara tentang pekerjaan dan kurangnya dukungan hingga merasakan dampak buruk. Bagaimana itu bisa terjadi?

Dua per tiga perempuan tingkat senior mengatakan bahwa menjalani peran ganda—pekerjaan dan tanggung jawab di rumah—membuat mereka merasa lelah, stres, dan kewalahan. Hal ini juga dirasakan perempuan terkenal yang baru-baru ini melepas posisi kepemimpinan, seperti Jacinda Ardern, mantan perdana menteri Selandia Baru, dan CEO YouTube, Susan Wojcicki.

Sebuah lainnya oleh Challenger, Gray & Christmas, sebuah firma penempatan eksekutif yang berbasis di Chicago, menemukan bahwa 167 orang mengundurkan diri dari peran CEO pada Februari 2023, meningkat 11 persen dari jumlah pemimpin yang keluar pada Februari 2022. 

Pentingnya fleksibilitas dan dukungan

Bagi perempuan, alasannya cukup beragam hingga mengambil keputusan tersebut. Laporan dari McKinsey & Company dan Lean In yang melihat perempuan meninggalkan posisi kepemimpinan karena mereka cenderung mengalami hambatan yang lebih kuat daripada pria.

Salah satunya, perempuan terlalu banyak bekerja tetapi kurang diapresiasi. Selain itu, mereka menginginkan budaya tempat kerja yang lebih fleksibel dan beragam. 

Shoket tak menampik bahwa kesepian dan kesuksesan berjalan beriringan, sebab terkadang mereka menjadi pemimpin tunggal yang menanggung sendiri semua beban keputusan.

“Dan itu tidak kondusif untuk kesuksesan bagi perempuan. Wanita merasa tidak terlihat, tidak didukung, dan sepertinya mereka tidak bisa menjadi diri mereka yang sebenarnya di tempat kerja,” ujarnya.

Epidemi kesepian dan dampaknya

Di luar implikasi di tempat kerja, kesepian juga terkait dengan sejumlah masalah kesehatan fisik dan mental. Termasuk risiko depresi yang lebih tinggi, kecemasan, penyakit kardiovaskular, sulit tidur, dan demensia.

Faktanya, sebuah studi dari National Institute on Aging menemukan bahwa isolasi berkepanjangan sama dengan merokok 15 batang per hari. 

Epidemi kesepian begitu merajalela sehingga dalam sebuah kuliah di Yale musim gugur yang lalu, Ahli Bedah Umum AS Vivek H. Murthy mengatakan, “Ini umum dan konsekuensial, dan itulah salah satu alasan mengapa saya ingin mengingatkan bahwa ini adalah masalah kesehatan masyarakat.” 

Untuk membantu mengatasi stres, hampir 92 persen perempuan tingkat senior yang melaporkan kesepian dalam studi TheLi.st mengatakan mereka beralih ke perilaku koping negatif, seperti alkohol, obat-obatan, olahraga berlebihan, dan pengeluaran berlebihan. 

Dalam studi TheLi.st, para peneliti menemukan bahwa hampir 60 persen perempuan mengatakan, perasaan kesepian atau isolasi mereka telah meningkat seiring dengan kemajuan karier mereka. Imbasnya hampir 53 persen perempuan menolak pekerjaan, promosi, berhenti atau berhenti bekerja sama sekali karena hal-hal negatif berdampak pada kehidupan pribadi mereka. 

“Ada satu generasi perempuan yang memandangi para perempuan di depan mereka dan melihat apa yang harus mereka korbankan, melihat bagaimana mereka harus memilah-milah dan mereka seperti, 'tidak, terima kasih. Saya memilih keluar dari itu, '”kata Shoket.

Mendefinisikan ulang kesuksesan

Alih-alih memilih keluar dari posisi kepemimpinan sama sekali, Denise Hamilton, CEO dan pendiri Watch Her Work, sebuah platform digital untuk perempuan profesional, mendorong tenaga kerja yang lebih muda untuk membayangkan kembali seperti apa kesuksesan itu menurut mereka.

“Orang tidak menginginkan peran kepemimpinan seperti dulu, terutama setelah terjadi semacam koreksi nilai selama lockdown,” kata Hamilton. 

Untuk melakukan itu, Hamilton merekomendasikan untuk mempertimbangkan apa yang perempuan butuhkan untuk berhasil, dan bagaimana peran atau perusahaan tertentu dapat mendukung tujuan tersebut. Menurutnya, sangat penting untuk mendefinisikan ulang konsep tenaga kerja modern.

Memerangi kesepian di tempat kerja

Terapis dan pendiri The Difference, Bea Arthur, mengatakan ruang kerja bersama dan kelompok komunitas seperti TheList, dapat membantu perempuan berkarier untuk tidak merasa sendirian. Selain itu, bekerja dari rumah memiliki fleksibilitas yang besar dan dapat membantu untuk berada di sekitar orang lain.

“Menjadi anggota ruang kerja bersama yang baik yang melakukan pemrograman, konten, dan acara di mana saya dapat melihat pendiri lain datang dan berbicara serta bertemu pengusaha lain telah menjadi pengubah permainan,” kata Arthur. 

Denise Hamilton menyarankan perempuan secara proaktif mengajak teman dan jaringan profesional untuk menjadwalkan bepergian, makan siang, atau coffee date baik secara langsung maupun virtual. Semakin banyak interaksi dengan orang di sekitar dan menjalin persahabatan telah terbukti meningkatkan kesehatan fisik dan mental.

Menurut Hamilton, persoalan yang dihadapi perempuan untuk mencapai keseimbangan kehidupan kerja yang lebih baik adalah masalah sosial yang sistemik.

Oleh karena itu, kondisi ideal harus didukung kebijakan perusahaan yang memberikan kondisi kerja yang lebih baik bagi perempuan, terutama mereka yang kurang terwakili dalam posisi kepemimpinan.

Related Topics

PerempuanKarier

Magazine

SEE MORE>
Chronicle of Greatness
Edisi April 2024
[Dis] Advantages As First Movers
Edisi Maret 2024
Fortune Indonesia 40 Under 40
Edisi Februari 2024
Investor's Guide 2024
Edisi Januari 2024
Change the World 2023
Edisi Desember 2023
Back for More
Edisi November 2023
Businessperson of the Year 2023
Edisi Oktober 2023
Rethinking Wellness
Edisi September 2023

Most Popular

3 Cara Mengubah Suara Menjadi Teks Untuk Kebutuhan Konten
Cara Melihat Pesan WA yang Terhapus, Tanpa Aplikasi Tambahan
Panduan Cara Ganti Kartu ATM BCA yang Hilang atau Rusak
10 Kacamata Termahal di Dunia Lengkap dengan Harganya!
Dalam sebulan, 69 Pinjol Diganjar Sanksi Oleh OJK
Usai PHK Karyawan Tesla, Elon Musk Investasi Rp8 Triliun. Buat Apa?