Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel Fortune IDN lainnya di IDN App
Pemanfaatan Robot pada Sektor Industri. (Sumber : https://www.freepik.com/usertrmk)
Pemanfaatan Robot pada Sektor Industri. (Sumber : https://www.freepik.com/usertrmk)

Intinya sih...

  • Perekonomian Indonesia hanya tumbuh 4,87 persen pada triwulan I-2025, lebih rendah dari periode sebelumnya.

  • Konsumsi rumah tangga hanya tumbuh 4,89 persen dan belanja pemerintah terkontraksi 1,38 persen, berpengaruh pada pertumbuhan ekonomi.

  • Situasi global yang tidak menentu juga memperburuk keadaan, dengan kinerja ekspor Indonesia anjlok 7,53 persen dibandingkan dengan tahun sebelumnya.

Jakarta, FORTUNE - Dunia usaha Indonesia tengah berjuang di bawah tekanan berat dari berbagai penjuru, mulai dari lesunya daya beli masyarakat hingga kompleksitas regulasi yang membelit. Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) menyuarakan kondisi genting ini, menggarisbawahi situasi yang jauh dari ideal bagi industri dalam negeri memasuki awal 2025.

Ketua Umum Apindo, Shinta W. Kamdani, memaparkan pertumbuhan ekonomi nasional hanya mencapai 4,87 persen secara tahunan (year-on-year/YoY). Angka ini lebih rendah dibandingkan dengan periode sama tahun sebelumnya yang mencapai 5,11 persen, bahkan terkoreksi dari capaian triwulan IV-2024 yang menyentuh 5,02 persen.

Secara triwulanan (quarter-to-quarter/QtQ), perekonomian justru mengalami kontraksi 0,98 persen, mencerminkan tekanan berlapis baik dari faktor global maupun domestik.

“Tekanan inflasi dan terbatasnya stimulus fiskal menjadi penyebab utama penurunan daya beli, terutama di kelompok pendapatan menengah ke bawah,” kata Shinta dalam acara Media Briefing Apindo Indonesia Quarterly Update, di Jakarta, Selasa (13/5).

Perlambatan ekonomi nasional ini, menurut Shinta, tidak dapat dilepaskan dari melemahnya konsumsi rumah tangga, yang merupakan komponen terbesar dalam Produk Domestik Bruto (PDB).

Pada triwulan I-2025, konsumsi rumah tangga hanya tumbuh 4,89 persen. Ironisnya, pertumbuhan ini terjadi pada periode Ramadan, momen yang biasanya mengerek belanja masyarakat. Pertumbuhan konsumsi tersebut menjadi yang terendah dalam lima kuartal terakhir, sebuah cerminan nyata dari tekanan daya beli, khususnya di kalangan masyarakat menengah ke bawah.

Tidak hanya itu, sektor industri juga terdampak oleh kontraksi belanja pemerintah sebesar 1,38 persen dan lesunya investasi. Pembentukan Modal Tetap Bruto (PMTB), sebagai indikator utama investasi atau ekspansi usaha, hanya tumbuh 2,12 persen pada kuartal I-2025. Pertumbuhan ini merupakan yang terendah dalam dua tahun terakhir.

Shinta menilai fenomena wait and see dari investor di tengah masa transisi pemerintahan dan ketidakpastian global turut memperkeruh iklim investasi. Namun, ia menekankan adanya persoalan lebih mendasar, yaitu hambatan struktural.

“Regulasi yang ruwet, iklim investasi yang belum cukup bersahabat, serta lambatnya implementasi reformasi mendalam menjadi kendala utama yang terus membelit,” ujarnya. “Di lapangan, pelaku usaha juga menghadapi tantangan operasional seperti tingginya biaya logistik hingga gangguan terhadap keamanan berusaha.”

Situasi global yang tak kalah genting menambah beban. Kinerja ekspor Indonesia, misalnya, anjlok 7,53 persen secara kumulatif dibandingkan dengan kuartal I-2024. Penurunan harga komoditas dan melemahnya permintaan dari mitra dagang utama seperti Cina dan Uni Eropa menjadi pemicu utama.

Sektor manufaktur pun tak luput dari tekanan. Purchasing Managers’ Index (PMI) Manufaktur Indonesia merosot tajam menjadi 46,7 pada April 2025, dari sebelumnya 52,4 pada Maret. Angka ini menandakan kontraksi terdalam sejak Agustus 2021.

Senada, Indeks Kepercayaan Industri (IKI) yang dirilis Kementerian Perindustrian juga turun, dari 52,98 pada Maret menjadi 51,90 pada April 2025.

Persoalan kian pelik akibat tingginya biaya kepatuhan yang ditanggung pelaku usaha akibat birokrasi tidak efisien dan lemahnya kepastian hukum. Dalam pemaparannya, Shinta menggarisbawahi empat tantangan struktural besar yang terus menggerus daya saing nasional.

Pertama, regulasi masih menjadi sorotan utama. Berdasarkan survei Roadmap Perekonomian Apindo, sebanyak 43 persen pelaku usaha merasa bahwa regulasi yang ada belum mampu mendorong kinerja produksi dan penjualan.

Kedua, tingginya biaya berusaha menjadi momok. Biaya logistik Indonesia mencapai 23 persen dari PDB, jauh lebih tinggi dibandingkan dengan Malaysia, Cina, atau Singapura. Suku bunga pinjaman yang berada pada kisaran 8–14 persen, serta kenaikan upah minimum rata-rata 8 persen per tahun, telah melampaui daya tahan sektor industri padat karya. Biaya kepatuhan akibat birokrasi berbelit dan ketidakpastian hukum semakin memperberat beban.

Tantangan ketiga adalah keamanan berusaha. Banyak pelaku usaha mengalami gangguan dari oknum di luar sistem hukum yang sah, sehingga menghambat proses produksi dan distribusi. Ketidakpastian operasional ini menciptakan keresahan berkelanjutan.

Terakhir, kualitas sumber daya manusia Indonesia yang belum kompetitif. Produktivitas tenaga kerja Indonesia tertinggal dibandingkan dengan negara-negara ASEAN lain. Mayoritas tenaga kerja berasal dari latar belakang pendidikan sekolah dasar ke bawah (36,54 persen), dan hanya 12,66 persen merupakan lulusan perguruan tinggi.

Meskipun demikian, Apindo tetap menaruh harapan.

“Dengan arah kebijakan yang konsisten dan reformasi struktural yang berkelanjutan, kami optimistis Indonesia bisa tetap tangguh dan bertumbuh di tengah tantangan global,” kata Shinta.

Editorial Team