Perjalanan Xiaomi, dari Penantang Menjadi Pemenang
Pada 2021, penjualan Xiaomi tumbuh 112% (YoY).
Jakarta, FORTUNE - Siapa sangka jika Xiaomi yang awalnya hanya ‘penantang’ di pasar ponsel pintar Indonesia, kini menjadi raksasa dan juara. Satu dekade lalu, Xiaomi merilis ponsel pertama mereka, Mi1 di Tiongkok. Kala itu, Xiaomi menghadirkan ponsel pintar dengan kemampuan yang terbilang mumpuni, namun dengan harga terjangkau. Xiaomi berhasil mencuri perhatian dunia. Tiga tahun berselang, tepatnya 2014, giliran Xiaomi hadir di Indonesia melalui Redmi 1S.
Jika membandingkan dengan perkembangan produk yang ada saat ini, Redmi 1S terlihat kuno. Tapi tujuh tahun lalu, produk itu memiliki kemampuan menarik, apalagi hanya dibanderol Rp1,5 juta.
Walau menghadirkan sebuah alternatif pilihan dalam pasar ponsel di Indonesia, namun tidak sedikit konsumen Indonesia yang memandang Xiaomi sebelah mata. Bahkan, jenama Xiaomi seringkali dipelesetkan menjadi ‘siomay’. Pada masa itu, citra produk Tiongkok yang kurang baik hingga dominasi berbagai jenama besar ponsel pintar—seperti Blackberry, Samsung, maupun Apple—menjadi tantangan tersendiri bagi Xiaomi.
Menurut lembaga riset Canalys, Xiaomi memiliki market share terbesar di Indonesia pada kuartal kedua 2021 dengan porsi 28 persen. Xiaomi mencatatkan pertumbuhan penjualan tahunan hingga 112 persen. Posisi kedua dan ketiga ditempati oleh Oppo dan Samsung dengan pangsa pasar 20 persen dan 18 persen. Ini pertama kali Xiaomi memimpin setelah tujuh tahun lamanya.
Xiaomi Indonesia sempat alami penurunan pada 2019
Pada 2019, bisnis Xiaomi di Indonesia sempat mengalami penurunan. Padahal pada 2018, Xiaomi sukses menguasai pasar Indonesia. Bahkan, ketika Xiaomi merilis produk baru, tidak dibutuhkan waktu lama untuk menjualnya walau hanya mengandalkan kanal e-commerce.
“Cara itu bekerja dengan baik pada 2018, tapi tidak pada 2019. Ketika produk yang diluncurkan tidak populer, konsumen tidak mau membeli secara online. Mereka masih tertarik tapi ingin mencari tahu secara offline, dan bertanya,” ujar Alvin Tse, Country Head Xiaomi Indonesia.
Akhirnya, pada kuartal keempat 2019, kata Alvin, Xiaomi Indonesia datang dengan tim yang baru. Berbagai jawaban pun dibutuhkan dari sejumlah pertanyaan. Apa yang sebenarnya dicari pasar Indonesia? Berapa banyak pembeli online dibandingkan offline? Bagaimana Xiaomi harus membangun kanal offline? Bagaimana Xiaomi harus memasarkan dirinya sebagai sebuah merek? Bagaimana Xiaomi harus engage kembali dengan konsumennya?
Alvin dan tim akhirnya membangun kembali bisnis Xiaomi di Indonesia. “Kembali ke fundamental. Mulai menata ulang produk, distribusi, harga, strategi marketing, dan lainnya. Ada pandemi atau tidak, kami harus melakukannya,” kata alumni Universitas Stanford, California, Amerika Serikat ini. Visi dan misi Xiaomi tetaplah sama, yaitu menjadi produk yang memikirkan orientasi pengguna (user oriented).
Perubahan perilaku konsumen yang terjadi
Xiaomi melihat adanya perubahan perilaku konsumen. Pertama, konsumen menginginkan produk yang memiliki nilai tambah karena perekonomian yang melambat. “Ketika ekonomi, bisnis, pekerjaan baik, konsumen tidak hanya mencari nilai tambah tapi juga status. Tapi pada masa pandemi, mereka kembali ke fundamental best value,” kata Alvin kepada Fortune Indonesia.
Selanjutnya, ketika pandemi terjadi dan aktivitas masyarakat terbatas, e-commerce menjadi sebuah pilihan kanal penjualan. Xiaomi memiliki tujuh situs belanja daring yang satu di antaranya e-commerce miliknya. “Penjualan kami dari e-commerce mencapai 20 persen. Dibandingkan merek lain yang kontribusinya sekitar 4-5 persen. Kami telah berselancar di atas ombak dengan baik,” ujar Alvin.
Ketiga, media sosial marketing. Menurut Alvin, pandemi membuat masyarakat memiliki waktu lebih untuk ‘bermain’ atau mengamati media sosial berdurasi pendek, seperti Instagram dan Tiktok. “Xiaomi tidak terlalu kuat pada kanal televisi dan billboard. Tapi di dunia media sosial, kami adalah salah satu brand paling engage,” katanya.
Perkembangan industri ponsel pintar yang semakin berkembang
Menurut pengamatan Alvin, industri ponsel pintar akan terus berkembang dan termasuk salah satu sektor yang memiliki nilai terbesar di dunia. Pasar yang ada pun sangat kompetitif, mengingat para pemain di dalamnya adalah raksasa dengan keunggulannya masing-masing. “Kami menjadi nomor satu untuk pertama kali dengan pertumbuhan 112 persen (YoY). Tentunya bukan hal yang mudah untuk menjadi nomor satu, begitu pula untuk mempertahankannya,” katanya.
Meski begitu, ada satu hal yang bakal menjadi tantangan Xiaomi dan produsen ponsel pintar dunia lainnya, yaitu pasokan chip. Hal itu tidak terlepas dari tingginya permintaan chip akibat dari naiknya kapasitas produksi elektronik, mobil listrik, mesin penambang uang kripto, dan lainnya.
Untuk itu, Xiaomi mencoba mengatasi hal ini dengan melakukan R&D (research and development), inkubasi tim dan investasi di sejumlah perusahaan chip. “Kami telah memulainya. Semoga suatu hari nanti, ada hal baru lain yang juga menjadi istimewa,” katanya.
Lanjutan kisah bisnis Xiaomi di Indonesia yang menarik ini, sekaligus kisah-kisah bisnis yang inspiratif lainnya, dapat Anda baca di edisi Majalah Fortune Indonesia edisi Oktober 2021. Dapatkan majalahnya di Tokopedia dan toko-toko buku kesayangan Anda.