Baca artikel Fortune IDN lainnya di IDN App
IDN Ecosystem
IDN Signature Events
For
You

Kisah Santan Instan: Lonjakan Harga dan PHK Bayangi Dominasi KARA

download.jpeg
Produk Sun KARA. (Dok. KARA)
Intinya sih...
  • KARA, merek santan siap pakai asal Riau, menghadapi kelangkaan pasokan kelapa, lonjakan harga hingga PHK karyawan.
  • KARA mendominasi pasar domestik dan diekspor ke 80 negara selama hampir 4 dekade.
  • Harga kelapa naik 67-133%, distribusi dari pabrik turun 30%, dan tren campuran kopi dengan coconut milk menyebabkan ekspor kelapa melonjak 146%.

Jakarta, FORTUNE - Slogan ‘ingat santan, ingat KARA’ bukan sekadar klaim pemasaran. Semboyan itu telah melekat kuat di benak konsumen Indonesia sebagai sinonim santan siap pakai.

Namun, di balik dominasi dan jangkauan globalnya, merek yang berakar dari Indragiri Hilir, Riau, ini kini menghadapi tantangan serius: kelangkaan pasokan kelapa, lonjakan harga, hingga pemutusan hubungan kerja (PHK) karyawan. Situasi ini mengancam kelangsungan bisnis yang dipelopori oleh visi mendiang Tay Juhana bersama Sambu Group.

Selama satu dekade terakhir, survei Frontier, sebuah firma riset dan konsultan Indonesia, secara konsisten menempatkan santan KARA sebagai top of mind di kalangan konsumen. Keberhasilan produk ini tidak hanya terbatas di pasar domestik; produk KARA telah diekspor ke lebih dari 80 negara di Asia, Australia, hingga Eropa.

Merek dagang KARA sendiri telah mendekati empat dekade. Sejarahnya, pada akhir 1980-an, produk perdana di bawah bendera KARA adalah santan siap saji dalam kemasan aseptik, sebuah teknologi yang menjamin produk bebas kontaminasi berkat proses sterilisasi.

Berangkat dari inovasi tersebut, KARA terus memperluas lini produknya. Kini, KARA memiliki portofolio produk makanan dan minuman turunan kelapa yang beragam, melayani segmen ritel maupun industri. Rangkaian produknya mencakup air kelapa dan minuman santan non-susu sapi ‘Kara Coco’, santan rendah lemak ‘Kara Light’, krim kelapa, bubuk krim santan, santan kelapa organik, nata de coco, minyak kelapa, minyak kelapa murni organik, hingga kelapa parut dan air kelapa alami aseptik untuk kebutuhan industri.

Diversifikasi produk ini merupakan perwujudan mimpi ambisius mendiang Tay Juhana, figur sentral di balik lahirnya Sambu Group, perusahaan yang menaungi merek KARA. Tay adalah sosok yang disegani, bahkan oleh presiden dan para menteri pada masanya.

Nama KARA sendiri merupakan akronim dari 'Kelapa Rakyat', mencerminkan keterikatan erat sejak awal dengan hasil panen kelapa dari perkebunan masyarakat di Indragiri Hilir, Riau, sebuah daerah di pesisir timur Pulau Sumatra.

Masyarakat di kawasan pesisir tersebut umumnya menggantungkan hidup dari perkebunan kelapa dan sektor perikanan. Hamparan pohon kelapa mendominasi lanskap area itu sejauh mata memandang. Lokasinya pun strategis, berdekatan dengan jalur perdagangan global dan berseberangan dengan Batam, menjadikannya titik yang menarik. Tidak mengherankan jika Indragiri Hilir memiliki daya tarik kuat bagi Tay Juhana, yang telah mengakrabi dunia perniagaan kelapa sejak usia muda.

“Di sini, asalkan orang rajin saja, dia pasti bisa hidup, karena alamnya begitu kaya,” ujar Tay tentang Indragiri Hilir, sebagaimana dilansir dari buku Tay Juhana: Pelopor Industri Kelapa (2018).

Sejak pendirian Sambu Group di Indragiri Hilir, Tay menanamkan prinsip kepada karyawannya untuk tidak pernah menolak kelapa hasil panen petani lokal, apa pun kondisinya. Semasa aktif menjabat direktur utama, Tay kerap turun langsung mengawasi operasionalisasi pabrik, bahkan hingga ke dermaga di tepi Sungai Guntung. Ia seolah ingin menyambut sendiri setiap gelondongan kelapa yang datang dan menyaksikan hasil panen para petani.

Prinsip Tay untuk menyerap seluruh hasil panen petani ini pernah membuat Sambu Group menghadapi surplus pasokan. Sebagai contoh, pada panen raya awal 2000-an, perusahaan terpaksa memusnahkan sekitar 2 juta butir kelapa segar akibat melimpahnya stok. Kini, untuk mengantisipasi lonjakan serupa, Sambu Group telah meningkatkan kapasitas produksinya. Apabila terjadi surplus pasokan di unit Guntung, kelapa akan dialihkan ke unit bisnis Sambu Group lainnya.

Namun, tantangan pasokan tidak hanya berupa surplus. Sambu Group juga menghadapi masa-masa sulit mendapatkan bahan baku akibat dampak perubahan iklim yang perlahan mengikis dan menenggelamkan area perkebunan kelapa milik warga.

Sebagai gambaran, pada awal pendirian pabrik Sambu, estimasi luas perkebunan kelapa di Indragiri Hilir mencapai 400.000 hektare. Angka ini diperkirakan menyusut menjadi sekitar 300.000 hektare pada 2018. Penyusutan lahan perkebunan ini secara langsung berdampak pada penurunan pasokan kelapa, yang sesekali dapat memicu kelangkaan bahan baku.

Harga kelapa melonjak drastis sejak akhir 2024. Pada tingkat eceran, harga kelapa yang normalnya di kisaran Rp10.000 per butir kini dijual seharga Rp20.000, bahkan sempat menyentuh Rp25.000 per butir pada periode Lebaran. Hal serupa terjadi pada harga santan instan. Harga eceran santan Sun Kara kemasan segitiga siku-siku 65 ml berkisar antara Rp5.000–Rp7.000 per buah. Rentang harga itu naik sekitar 67–133 persen dari sebelumnya yang hanya sekitar Rp3.000 per buah.

Presiden Direktur PT KARA Santan Pertama, Andreas Sudarto, menyatakan sejak Oktober 2024, bahan baku kelapa sulit didapat. Salah satu penyebabnya adalah El-Niño atau gelombang panas yang membuat kelapa sulit berbuah.

“Distribusi kami jumlahnya tergantung dari pabrik [di Guntung]. Pengiriman dari pabrik rata-rata menurun sekitar 30 persen,” katanya kepada Fortune Indonesia (24/5). “Dengan kondisi sekarang yang mahal dan langka, apa boleh buat, kami terpaksa menaikkan harga.”

Faktor lain adalah perebutan pasokan. Tren menggantikan susu sapi dengan coconut milk sebagai campuran kopi membuat sejumlah negara Asia banyak menyerap kelapa Indonesia. Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan, ekspor komoditas kelapa di dalam kulit (endocarp) berjumlah US$45,6 juta pada Januari–Maret 2025. Angka itu meroket 146 persen dari periode serupa pada 2024, yaitu US$14,6 juta. Tujuan utamanya adalah Cina, Vietnam, dan Thailand.

KARA Santan Pertama adalah distributor tunggal merek KARA. Wajar jika Andreas berharap pemerintah dapat segera memberlakukan kebijakan pembatasan ekspor. Sebab, negara produsen kelapa bulat besar lain (Filipina dan Thailand) telah menerapkan kebijakan serupa demi mempertahankan pasokan di dalam negeri. Pada Maret 2025, Kementerian Perindustrian telah mengimbau agar ekspor kelapa bulat disetop sementara dalam waktu 6 bulan.

“Artinya bukan berarti bahwa tidak boleh ekspor, justru bagus ekspor. Tapi kebutuhan dalam negeri juga perlu diperhitungkan juga,” kata Andreas. “Dari Menperin sepertinya setuju [membatasi ekspor], karena dia memperhatikan industri jangan sampai mati. Tapi dari sisi Kementerian Pertanian justru bilang, ‘bagus loh untuk petani’. Kami berharap agar antarkementerian bisa saling berkoordinasi.”

Terjepit antara kurangnya pasokan bahan baku dan turunnya penjualan akibat kenaikan harga, Sambu Group terpaksa melakukan efisiensi. Sambu Group telah mengonfirmasi kabar PHK, tetapi tidak memerinci detail jumlah pekerja yang terdampak.

Data Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Disnaker) Riau menunjukkan, 3.128 pekerja PT Pulau Sambu di Guntung dan PT RSUP—keduanya merupakan bagian dari Grup Sambu— mengalami pemutusan hubungan kerja (PHK) pada periode Januari-Februari 2025.

Ketidakpastian rupanya terus membayangi. Andreas pun secara rutin terbang ke Indragiri Hilir untuk memantau rantai pasok. Ia berharap situasi dapat berangsur normal.

“Harga tinggi itu bukan kemauan kami,” katanya. “Kami pun ingin harga [kelapa] seperti dulu. Kami ingin bisa jualan dan berkembang bisnisnya. Kalau kami tumbuh dan berkembang, petani juga senang karena kami pasti beli kelapa dari petani."

Share
Topics
Editorial Team
Bonardo Maulana
EditorBonardo Maulana
Follow Us