Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel Fortune IDN lainnya di IDN App
IMG_20250305_191252.jpg
Ilustrasi Kelapa Sawit (IDN Times/Arifin Al Alamudi)

Intinya sih...

  • Petani sawit menolak kenaikan Pungutan Ekspor (PE) untuk mendukung program B50.

  • Kenaikan PE dinilai dapat merusak ekosistem kelapa sawit dan menekan pendapatan petani.

  • POPSI mendorong desain ulang kebijakan biodiesel agar lebih adil, realistis, dan berkelanjutan.

Disclaimer: This summary was created using Artificial Intelligence (AI)

Jakarta, FORTUNE - Rencana pemerintah menaikkan Pungutan Ekspor (PE) sawit pada 2026 guna menyokong transisi mandatori biodiesel dari B40 ke B50 menuai reaksi negatif dari sektor hulu.

Perkumpulan Organisasi Petani Sawit Indonesia (POPSI) menilai kebijakan ini berisiko menekan margin pendapatan pekebun sekaligus menggerus daya saing komoditas sawit nasional di pasar internasional.

Ketua Umum POPSI, Mansuetus Darto, menegaskan eskalasi beban pungutan akan secara linear meningkatkan struktur biaya ekspor, terutama pada komponen cost, insurance, and freight (CIF). Menurutnya, desain kebijakan yang terlalu dominan pada biodiesel berisiko merusak keseimbangan ekosistem kelapa sawit secara keseluruhan.

“Tujuan awal program biodiesel adalah untuk mengintervensi dan menstabilkan pasar, bukan untuk mendominasi hingga B50. Karena itu, mendesain kebijakan biodiesel agar sangat dominan seperti ini adalah keliru,” ujar Mansuetus dalam keterangan resminya, Rabu (31/12).

Ia mengingatkan, jika skema B50 dipaksakan dengan tumpuan pendanaan yang tetap bertumpu pada Badan Pengelola Dana Perkebunan (BPDP), maka keberlangsungan program strategis lainnya terancam. Dana yang seharusnya dialokasikan untuk Peremajaan Sawit Rakyat (PSR), peningkatan produktivitas, serta dukungan sertifikasi Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO) dikhawatirkan akan terpinggirkan.

Saat ini, besaran PE sawit berkisar US$75–95 per ton, menyesuaikan harga CPO global. Tingginya selisih harga biosolar sawit dibandingkan solar impor membuat cadangan dana BPDP terkuras signifikan untuk menalangi subsidi.

POPSI memproyeksikan dana kelolaan tersebut berpotensi habis pada pertengahan 2026. Jika PE dinaikkan sebagai solusi instan, dampaknya akan langsung memicu koreksi harga Tandan Buah Segar (TBS) di tingkat petani.

Berdasarkan studi Serikat Petani Kelapa Sawit (2018), setiap eskalasi pungutan ekspor senilai US$50 per ton berkontribusi terhadap penurunan harga TBS sekitar Rp435 per kilogram. Data ini menunjukkan tambahan beban fiskal pada ekspor memiliki korelasi langsung terhadap penurunan kesejahteraan pekebun.

Anggota POPSI sekaligus Ketua Umum APKASINDO Perjuangan, Alvian Rahman, menyoroti ketimpangan manfaat dalam rantai pasok biodiesel. Ia menyebut pekebun rakyat sering kali menjadi pihak yang menanggung konsekuensi kebijakan tanpa mendapatkan manfaat nilai tambah sepadan.

“Ini ketimpangan kebijakan yang terus berulang. Petani selalu diminta berkorban, tetapi tidak pernah menjadi penerima utama manfaat,” kata Alvian.

Analisis serupa disampaikan oleh Abra Talattov, Kepala Pusat Pangan, Energi, dan Pembangunan Berkelanjutan INDEF. Ia menyarankan agar akselerasi menuju B50 didahului oleh evaluasi komprehensif, termasuk meninjau kembali implementasi amanat Presiden Nomor 132 Tahun 2024.

Abra menilai konteks ekonomi saat ini jauh berbeda dibandingkan saat kebijakan terdahulu dirumuskan.

Meski melayangkan penolakan terhadap kenaikan pungutan, POPSI mendorong desain ulang regulasi biodiesel agar lebih berkeadilan dan berkelanjutan. Salah satu usulan konkretnya adalah penerapan subsidi yang lebih terarah bagi sektor Public Service Obligation (PSO), dengan batas atas maksimal Rp4.000 per liter.

Selain itu, organisasi ini mengusulkan konsep fleksiblending dengan ambang bawah B30. Melalui skema ini, tingkat campuran biodiesel dapat disesuaikan secara dinamis mengikuti volatilitas harga CPO dan minyak fosil.

Saat harga CPO melonjak, kadar pencampuran dapat dikurangi untuk menjaga stabilitas subsidi dan harga TBS. Sebaliknya, bauran ditingkatkan saat harga CPO melemah.

POPSI menggarisbawahi peningkatan bauran energi ini seharusnya sejalan dengan laju produksi nasional. Jika produksi CPO mampu mencapai target 50 juta–60 juta ton per tahun, maka ekspansi biodiesel menjadi langkah yang lebih rasional.

Di sisi lain, pembagian beban (burden sharing) antara negara, industri, dan BPDP mendesak untuk dilakukan, mengingat pemerintah mengklaim penghematan devisa dari program ini mencapai Rp135 triliun per tahun.

 

Editorial Team