Jakarta, FORTUNE - Lembaga studi kebijakan Prasasti Center for Policy Studies mendesak pemerintah segera mempercepat realisasi belanja negara. Langkah ini dinilai penting dalam menopang pertumbuhan ekonomi nasional yang menunjukkan sinyal perlambatan pada kuartal kedua tahun ini, di tengah lesunya konsumsi rumah tangga dan sikap menunggu dari sektor swasta.
Direktur Riset Prasasti, Gundy Cahyadi, mengungkapkan setelah mencatat pertumbuhan PDB sebesar 4,87 persen (YoY) pada kuartal I, laju ekonomi terlihat belum membaik.
“Konsumsi rumah tangga—kontributor utama pertumbuhan—masih lemah, sementara sektor swasta cenderung menunggu arah kebijakan pemerintah,” katanya dalam keterangan resmi, Senin (14/7).
Kondisi ini diperparah oleh lambatnya penyerapan anggaran. Hingga akhir Juni 2025, realisasi belanja negara baru mencapai 38,9 persen dari total pagu APBN, lebih rendah dari periode yang sama tahun lalu (42 persen) dan rata-rata historis 2021–2024 (41,2 persen). Lambatnya belanja ini salah satunya dipengaruhi oleh seretnya penerimaan negara yang baru mencapai 40,3 persen dari target.
Dalam kondisi seperti ini, Prasasti mendorong pemerintah menerapkan strategi front-loading, yakni mempercepat pencairan anggaran pada paruh kedua tahun ini. Belanja negara diharapkan menjadi alat kebijakan counter-cyclical yang mampu mengungkit permintaan domestik dan menggairahkan kembali aktivitas perekonomian.
Namun, strategi ini bukannya tanpa risiko. Percepatan belanja di saat penerimaan lesu berpotensi melebarkan defisit APBN 2025, yang saat ini ditargetkan mencapai 2,78 persen dari PDB. Angka defisit dikhawatirkan dapat mendekati atau bahkan melebihi batas psikologis 3 persen yang selama ini dijaga ketat oleh pemerintah.
Meski demikian, Gundy menekankan bahwa pelebaran defisit bukan hal tabu, asalkan belanja diarahkan ke sektor-sektor produktif.
“Misalnya ke hilirisasi industri, ketahanan pangan, transformasi UMKM, serta program perlindungan sosial yang tepat sasaran. Itu justru bisa memperkuat struktur ekonomi dalam jangka menengah,” ujarnya.
Prasasti menilai fundamental ekonomi Indonesia masih cukup solid demi menopang kebijakan tersebut. Rasio utang terhadap PDB tetap di bawah 40 persen, jauh lebih rendah dibandingkan dengan banyak negara berkembang.
Kepercayaan pasar juga terjaga, dibuktikan dengan arus dana asing ke pasar obligasi pemerintah yang mencapai Rp42 triliun sepanjang paruh pertama 2025 dan dipertahankannya peringkat layak investasi dari tiga lembaga pemeringkat utama.
“Komunikasi publik yang transparan mengenai strategi pengelolaan fiskal, termasuk kebijakan utang dan arah belanja, akan semakin penting untuk menjaga kepercayaan publik dan pasar,” kata Gundy.