Jakarta, FORTUNE - Sebagai mahasiswa indekos saat kuliah di Universitas Brawijaya, Malang, ayam geprek menjadi makanan keseharian Tubagus Syailendra Wangsadisastra. Pada 2016, ia baru saja memulai belajar di Program Studi Hubungan Internasional. Ide bisnisnya muncul saat dipertemukan dengan Ashab Alkahfi di sebuah pelatihan kewirausahaan. Ashab, kala itu belajar di Fakultas Peternakan.
Keduanya mengamati bahwa ayam, baik daging maupun telurnya, merupakan sumber protein hewani utama bagi masyarakat. Bagaimana tidak, harga daging sapi masih terlalu mahal, sementara ikan relatif lebih sulit didistribusikan. Maka, ayam adalah pilihan yang paling potensial.
“Kami sempat riset bahwa value chain industri peternakan ayam itu besar sekali. Bisa sampai Rp500 triliun dalam setahun,” kata Tubagus kepada Fortune Indonesia (16/1).
Di tengah kesibukan kuliah, kedua mahasiswa ini mempelajari bisnis peternakan, mulai dari siklus bertelur, penetasan, masa potong, hingga afkir-nya. Keduanya rela mondar-mandir dari Malang-Klaten dan sejumlah daerah peternakan ayam lainnya untuk keperluan riset. Temuan awalnya, peternakan tradisional berskala kecil kerap tak efisien. Terbatasnya akses dana hingga informasi bagi peternak membuat mereka sering merugi.
Berbekal pengalaman itu, keduanya mengikuti lomba inovasi peternakan hingga memenangkan hadiah uang tunai Rp3 juta. Dana itulah yang menjadi modal awal bagi keduanya untuk membuka kandang dan mengisinya dengan 500 ekor ayam pada 2017. Inilah awal-mula Chickin.
Toh, bisnis tak akan berjalan lancar tanpa sokongan modal. Masalahnya, tak banyak pemodal melirik potensi bisnis kedua orang itu. Hingga 2019, ketika startup agritech lain seperti TaniFund hingga iGrow mulai mendapat kucuran modal, Chickin masih tetap tertinggal.
Tak mau berpangku tangan, keduanya tetap mematangkan rencana. Melihat peternakan yang dirintis masih berjalan, keduanya mendirikan PT Sinergi Ketahanan Pangan pada tahun 2020. “Kami dari awal bisnis selalu memiliki rencana, meski selalu dianggap underdog. Kami merasakan sekali menghimpun modal itu susah. Dulu saya fundraising ke investor ditolak sampai hampir 100 kali,” kata Tubagus.