Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel Fortune IDN lainnya di IDN App
Pesawat Terbang. (Pixabay)

Jakarta, FORTUNE - Pandemi Covid-19 membawa sektor penerbangan pada turbulence yang belum pernah dihadapi sebelumnya. Awalnya pandemi diperkirakan akan membaik pada semester awal 2021. Nyatanya, wabah justru memburuk dan mengakibatkan Pemberlakukan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM). Pertanyaan besar pun muncul: Mampukah industri penerbangan bertahan?

Dalam rilis Grant Thornton, Senin, (26/7), Johanna Gani, CEO/Managing Partner Grant Thornton Indonesia, mengatakan penting bagi pelaku industri penerbangan untuk mulai mempersiapkan kembalinya permintaan konsumen dan bisnis meski situasi masih tak pasti. 

“Perlu adanya strategi untuk memastikan protokol kesehatan seperti jaga jarak, pemeriksaaan kesehatan, penyemprotan disinfektan fasilitas selain juga kepastian vaksinasi terhadap penumpang, pilot, pramugari, dan juga petugas bandara. Dengan begitu, kepercayaan masyarakat untuk menggunakan moda transportasi pesawat di tengah pandemi meningkat,” kata Johanna.

Dalam laporan terbaru berjudul “Aviation: preparing the return of travel”, Grant Thornton menyebut tiga tantangan yang dihadapi industri penerbangan.

Likuiditas

Manajemen dan perkiraan arus kas jadi problem serius bagi maskapai penerbangan dan bisnis pendukungnya. Sektor penerbangan mesti menanggung besarnya penurunan pendapatan, biaya tetap, dan biaya operasional. Meningkatnya Covid-19 mendorong pelaku usaha untuk mengurangi pengeluaran dan meningkatkan likuiditas.

Beberapa faktor turut memengaruhi perencanaan arus kas. Banyak maskapai penerbangan yang menggunakan tunjangan dari pemerintah untuk membayar gaji dan biaya tetap lainnya tanpa tahu pasti berapa lama fasilitas tersebut dapat digunakan. Selain itu, masih ada potensi pembatasan perjalanan, yang tentu berdampak pada perilaku pelancong. 

Dari sisi lessor atau perusahaan penyedia pesawat, kondisi sekarang belum pernah mereka alami sebelumnya. Seluruh maskapai penerbangan di dunia terdampak, dan perusahaan penyedia pesawat pun menghadapi berbagai masalah likuiditas. Terjadi penurunan pendapatan sewa secara drastis, penundaan pembayaran, hingga upaya maskapai untuk mengembalikan pesawat.

Biaya Operasional

Cara utama yang lazim untuk menurunkan biaya operasional adalah dengan mengurangi karyawan. Contohnya Garuda Indonesia, yang menawarkan program pensiun dini bagi karyawannya. Langkah serupa diambil sejumlah maskapai besar lain dari berbagai negara. 

Bagi lessor, kondisi semakin buruk dengan kecilnya area bermanuver. Model bisnis yang ada saat ini menekankan besarnya biaya operasional, termasuk ketidakmampuan untuk memindahkan pesawat mereka ke wilayah lain.

Utang dan Restrukturisasi.

Utang modal yang diperoleh melalui kepemilikan atau penyewaan pesawat memakan porsi besar biaya tetap maskapai penerbangan. Ditambah, perusahaan penyedia pesawat tidak mau mengambil kembali armadanya. Ini membuat maskapai penerbangan perlu menegosiasikan kembali kesepakatan mereka dengan perusahaan leasing dan pembiayaan. Jalan itu diambil untuk mendapat penangguhan atau penurunan suku bunga dalam jangka waktu masuk akal. 

Masalahnya, kesepakatan atas prosedur restrukturisasi ataupun kepailitan dengan semua kreditur dan pemangku kepentingan tidak mudah. Upaya bersama di antara pelaku pasar untuk mengimplementasikan solusi inovatif jelas dibutuhkan.

Editorial Team