Jakarta, FORTUNE - PT Vale Indonesia Tbk (INCO) menargetkan megaproyek HPAL Pomalaa—pabrik pengolahan nikel untuk bahan baku baterai kendaraan listrik—dapat mulai beroperasi pada akhir 2026. Proyek kolaborasi dengan Zhejiang Huayou Cobalt dan Ford Motor Company ini menjadi salah satu pilar utama hilirisasi nikel di Tanah Air.
Proyek high-pressure acid leaching (HPAL) Pomalaa ini dirancang memproduksi hingga 120.000 ton per tahun mixed hydroxide precipitate (MHP), yang merupakan bahan baku utama dalam pembuatan baterai.
Head of Corporate Finance and Investor Relations PT Vale Indonesia, Andaru Adi, mengatakan blok Pomalaa menyimpan potensi besar sebagai sumber nikel berkualitas tinggi yang cocok bagi ekosistem kendaraan listrik.
“Pomalaa adalah salah satu blok yang memiliki potensi cadangan bijih nikel besar, dengan kualitas limonit yang cocok untuk pemrosesan lebih lanjut melalui HPAL. Ini sejalan dengan kebutuhan pengembangan ekosistem kendaraan listrik nasional,” kata Andaru dalam keterbukaan informasi Bursa Efek Indonesia (BEI), Senin (28/7).
Saat ini, proyek dengan total nilai investasi US$2,7 miliar tersebut tengah dalam tahap konstruksi, dengan progres 13,9 persen dan ditargetkan rampung pada kuartal IV-2026. Dalam proyek ini, INCO memiliki hak kepemilikan hingga 30 persen melalui skema opsi beli (call option).
Demi mendukung pasokan bahan baku, pembangunan tambang Pomalaa juga terus berjalan dengan investasi sekitar US$500 juta. Hingga April 2025, progres konstruksi tambang telah mencapai 20,22 persen dan ditargetkan selesai pada kuartal III-2026.
Tambang ini nantinya memiliki kapasitas produksi mencapai 28 juta ton bijih limonit dan saprolit per tahun. Sementara itu, pembangunan fasilitas pendukung seperti asrama pekerja telah rampung 100 persen, dan kini fokus pekerjaan adalah percepatan fasilitas penting demi menunjang kegiatan penambangan awal yang ditargetkan dimulai pada 2025.
Meskipun harga nikel global tengah berfluktuasi, manajemen Vale Indonesia tetap optimistis. Menurut Andaru, harga nikel masih berpotensi bertahan pada kisaran US$15.000-16.000 per ton.
“Dengan harga nikel saat ini dan biaya kas per unit yang kami miliki, kami optimistis bisa melewati tantangan dengan baik,” ujarnya.