Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel Fortune IDN lainnya di IDN App
Gedung Bank Indonesia sebagai simbol otoritas moneter dan intervensi pasar.
Gedung Bank Indonesia sebagai simbol otoritas moneter dan intervensi pasar.

Intinya sih...

  • Pemangkasan suku bunga acuan ditujukan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi.

  • Telah enam kali BI menurunkan suku bunga acuannya sejak September 2024.

  • Selain itu, bank sentral juga mengambil langkah ekspansif lain.

Disclaimer: This summary was created using Artificial Intelligence (AI)

Jakarta, FORTUNE - Bank Indonesia (BI) membuka peluang untuk menurunkan suku bunga acuan atau BI Rate lebih jauh guna mendorong pertumbuhan ekonomi domestik. Namun, langkah tersebut akan tetap mempertimbangkan stabilitas nilai tukar, harga, dan inflasi agar keseimbangan moneter terjaga.

Direktur Departemen Kebijakan Ekonomi dan Moneter BI, Juli Budi Winantya, mengatakan bauran kebijakan BI tidak hanya bertumpu pada suku bunga, tapi juga kombinasi dari berbagai instrumen moneter dan alat kebijakan makroprudensial yang saling melengkapi.

“Kebijakan moneter BI akan tetap diarahkan untuk menjaga stabilitas, tetapi di sisi lain juga dapat mendorong pertumbuhan. Terkait BI Rate, ruangnya masih ada untuk bisa turun lebih lanjut,” kata dia dalam acara Investortrust Economic Outlook 2026 yang disiarkan secara virtual, Rabu (5/11).

Sejak September 2024, BI telah enam kali menurunkan suku bunga acuan dengan total penurunan 150 basis poin (bps). Saat ini, BI Rate berada pada level 4,75 persen, sementara suku bunga Deposit Facility 3,75 persen dan Lending Facility 5,5 persen.

Penurunan terhangat pada September lalu dilakukan dengan porsi lebih besar pada Deposit Facility, yakni 100 basis poin di bawah BI rate. Langkah itu ditujukan agar perbankan memiliki insentif lebih kecil untuk menempatkan dananya di BI dan sebaliknya mendorong ekspansi kredit ke sektor riil.

Selain instrumen suku bunga, BI juga menjalankan sejumlah langkah ekspansif lain untuk memperlonggar likuiditas pada sistem keuangan. Di antaranya, pengurangan posisi Sertifikat Sekuritas Bank Indonesia (SRBI) dari Rp924 triliun menjadi sekitar Rp700 triliun, yang menambah likuiditas sekitar Rp200 triliun ke pasar.

“SRBI ini adalah instrumen kontraksi. Jadi, ketika posisinya turun, berarti ada ekspansi likuiditas,” kata Juli.

Dalam catatan BI pula, terdapat pembelian Surat Berharga Negara (SBN) di pasar sekunder yang mencapai Rp270 triliun sepanjang 2025. Langkah tambahan itu diambil guna memperkuat pasokan dana pada sistem keuangan.

Dari sisi makroprudensial, BI memberikan insentif GWM (Giro Wajib Minimum) bagi bank yang menyalurkan kredit ke sektor prioritas. Secara keseluruhan, insentif ini telah mencapai hampir Rp400 triliun hingga Oktober 2025.

“Kombinasi kebijakan ini bertujuan menjaga keseimbangan antara stabilitas dan pertumbuhan. Kami mendorong ekspansi kredit dan likuiditas, tapi tetap menjaga stabilitas inflasi dan nilai tukar,” ujarnya.

 

Editorial Team