Jakarta, FORTUNE - Berbagai lembaga keuangan global menyoroti kondisi fiskal Indonesia dan risiko yang membayanginya di 2025. Dampaknya, defisit APBN berisiko makin melebar dan pertumbuhan ekonomi diprediksi agak melambat.
Dalam laporan terbaru, lembaga pemeringkat kredit, Fitch Ratings, memproyeksikan defisit fiskal Indonesia naik ke 2,5 persen terhadap PDB pada 2025. Angka itu lebih tinggi dibandingkan pada 2024, yang hanya 2,3 persen.
"Dalam jangka menengah, Fitch Ratings menilai prospek fiskal Indonesia begitu tidak pasti," demikian catatan mereka, dikutip Jumat (14/3).
Kepala Ekonom PermataBank, Josua Pardede menjelaskan, defisit fiskal 2025 diproyeksikan mencapai Rp616,2 triliun atau 2,53 persen dari PDB. Utamanya, itu akan dibiayai melalui penerbitan Surat Berharga Negara (SBN). Itu berpotensi meningkatkan net issuance SBN sampai dengan 42,2 persen.
Jika tekanan fiskal meningkat, maka tingkat pengembalian SBN (Surat Berharga Negara). Hal itu dapat berdampak pada biaya utang pemerintah.
Adapun, tim ekonom PermataBank memproyeksikan defisit APBN dapat menyentuh 2,64 persen terhadap PDB di 2025. Menurut Josua, ada beberapa faktor yang dapat memperlebar defisit hingga mendekati atau melampaui 3 persen, yakni: penerimaan negara tidak sesuai target, belanja yang tak bisa dikurangi, dan ketidakpastian global.
Bahkan, firma riset asal Inggris yang merupakan anak usaha Fitch Solutions, BMI memproyeksikan defisit APBN Indonesia mencapai 3 persen atau ambang batas atas dalam undang-undang. Dalam analisis BMI, defisit fiskal rata-rata akan berada di rentang 3 persen sepanjang 5 tahun ke depan.
"Kurangnya perencanaan konkret untuk memperluas basis pajak dapat membahayakan posisi fiskal Indonesia karena presiden ingin meningkatkan belanja publik untuk agenda kebijakannya," begitulah catatan analisis BMI, dikutip dari Bloomberg.
Untuk menekan risiko melebarnya defisit APBN, pemerintah perlu memprioritaskan belanja produktif dengan dampak ekonomi tinggi. Efektivitas belanja pun harus terus didorong.
Ditambah, pemerintah juga perlu mengoptimalkan pembiayaan alternatif di luar SBN. "Selain SBN, perlu eksplorasi lebih lanjut terkait sovereign wealth fund untuk menarik investasi dan membiayai proyek infrastruktur," kata Josua kepada Fortune Indonesia, Jumat.