Quiet Quitting: Dampaknya bagi Ekonomi Gen Z

- Fenomena "quiet quitting" telah menjadi topik hangat dalam diskusi tentang dunia kerja, khususnya di kalangan generasi Z atau gen Z.
- Quiet quitting bukan berarti mengundurkan diri secara resmi, melainkan menolak budaya kerja yang menuntut dedikasi berlebihan tanpa kompensasi yang layak.
- Di satu sisi, quiet quitting dapat menjadi bentuk perlawanan terhadap eksploitasi tenaga kerja dan mendorong lingkungan kerja yang lebih sehat.
- Namun, di sisi lain, hal ini juga menimbulkan tantangan bagi dunia usaha dan ekonomi secara keseluruhan.
Jakarta, FORTUNE - Fenomena "quiet quitting" menjadi perbincangan hangat dalam diskusi tentang dunia kerja, khususnya di kalangan generasi Z atau gen Z. Istilah ini merujuk pada sikap pekerja yang tetap menjalankan tugas sesuai deskripsi pekerjaan mereka tanpa mengambil inisiatif lebih atau terlibat dalam kerja ekstra.
Quiet quitting bukan berarti mengundurkan diri secara resmi, melainkan menolak budaya kerja yang menuntut dedikasi berlebihan tanpa kompensasi yang layak.
Gen Z yang lahir antara pertengahan 1990-an hingga awal 2010-an, tumbuh dalam era digital yang memicu perubahan sosial dan ekonomi. Mereka menyaksikan krisis keuangan global, pandemi Covid-19, serta transformasi besar dalam dunia kerja.
Sebagai generasi yang mengutamakan keseimbangan antara kehidupan kerja dan pribadi, banyak dari mereka memilih untuk bekerja dengan batasan yang jelas, menolak ekspektasi bahwa mereka harus selalu siap sedia bekerja di luar jam kerja resmi.
Fenomena ini memicu berbagai reaksi, terutama dari perusahaan yang mengandalkan tenaga kerja muda. Di satu sisi, quiet quitting dapat menjadi bentuk perlawanan terhadap eksploitasi tenaga kerja dan mendorong lingkungan kerja yang lebih sehat.
Namun, di sisi lain, hal ini juga menimbulkan tantangan bagi dunia usaha dan ekonomi secara keseluruhan.
Dampak Quiet Quitting bagi Ekonomi Gen Z
1. Perubahan Pola Konsumsi dan Pendapatan
Quiet quitting sering kali berkaitan dengan keputusan individu untuk tidak terlalu bergantung pada pekerjaan utama mereka. Banyak gen Z yang memilih pekerjaan dengan jam kerja lebih fleksibel, seperti menjadi pekerja lepas atau berwirausaha.
Konsekuensinya, pola konsumsi mereka juga mengalami perubahan. Mereka lebih memilih untuk mengalokasikan dana ke kebutuhan esensial, pengalaman hidup, dan investasi jangka panjang dibandingkan dengan pengeluaran konsumtif.
Selain itu, dengan tidak mengejar promosi atau kerja lembur, penghasilan mereka cenderung stagnan dibandingkan generasi sebelumnya yang sering bekerja ekstra untuk meningkatkan gaji dan jabatan. Ini bisa berdampak pada daya beli mereka dalam jangka panjang serta kontribusi mereka terhadap pertumbuhan ekonomi secara keseluruhan.
2. Dampak terhadap Produktivitas dan Pertumbuhan Ekonomi
Dalam jangka pendek, quiet quitting dapat menurunkan produktivitas di tempat kerja. Perusahaan yang mengandalkan karyawan dengan dedikasi tinggi mungkin mengalami kesulitan untuk mempertahankan tingkat output yang sama jika banyak pekerja hanya melakukan tugas minimum yang diperlukan. Hal ini dapat menghambat pertumbuhan bisnis dan inovasi.
Namun, dari perspektif yang lebih luas, quiet quitting dapat memicu perubahan dalam budaya kerja yang lebih berkelanjutan. Jika perusahaan mulai menyesuaikan ekspektasi dan memberikan keseimbangan kerja yang lebih baik, maka produktivitas bisa tetap terjaga dengan pendekatan kerja yang lebih sehat.
3. Mendorong Perubahan dalam Model Bisnis
Quiet quitting juga memaksa perusahaan untuk meninjau ulang model bisnis mereka. Jika tenaga kerja muda enggan bekerja dengan sistem tradisional yang menuntut keterlibatan ekstra tanpa imbalan, maka perusahaan harus menyesuaikan diri.
Hal ini bisa mendorong adopsi sistem kerja yang lebih fleksibel, seperti model kerja hybrid atau remote, yang lebih sesuai dengan preferensi gen Z.
Selain itu, perusahaan yang tidak dapat beradaptasi mungkin akan mengalami kesulitan dalam menarik dan mempertahankan talenta muda. Akibatnya, bisnis yang masih bergantung pada cara kerja konvensional bisa kehilangan daya saing dalam jangka panjang.
4. Pertumbuhan Ekonomi Digital dan Ekonomi Kreatif
Salah satu dampak positif dari quiet quitting adalah meningkatnya pertumbuhan ekonomi digital dan ekonomi kreatif. Banyak gen Z yang beralih ke pekerjaan berbasis digital, seperti menjadi content creator, freelancer, atau wirausaha online.
Fenomena ini membuka peluang baru dalam perekonomian, di mana individu tidak lagi harus bergantung pada satu pekerjaan tetap, tetapi dapat mengembangkan berbagai sumber penghasilan.
Ekonomi digital dan kreatif juga memungkinkan gen Z untuk menciptakan peluang kerja mereka sendiri, yang bisa berdampak positif pada ekonomi secara keseluruhan. Dengan berkembangnya teknologi dan akses internet yang luas, semakin banyak orang yang bisa bekerja secara mandiri tanpa harus terikat pada perusahaan besar.
5. Implikasi Jangka Panjang bagi Pasar Kerja
Dalam jangka panjang, quiet quitting bisa mempengaruhi struktur pasar kerja. Jika gen Z terus menghindari budaya kerja yang mengutamakan produktivitas berlebih tanpa kompensasi yang sepadan, maka akan ada pergeseran dalam cara perusahaan merekrut dan mempertahankan karyawan.
Pekerjaan dengan fleksibilitas tinggi akan semakin diminati, sementara pekerjaan dengan ekspektasi tinggi tanpa keseimbangan hidup yang baik akan semakin sulit menarik talenta muda. Ini bisa memicu perubahan dalam kebijakan ketenagakerjaan, termasuk reformasi dalam sistem upah, tunjangan, dan peraturan tentang kesejahteraan karyawan.
Quiet quitting bukan sekadar tren sesaat, melainkan refleksi dari perubahan besar dalam cara gen Z memandang dunia kerja. Fenomena ini membawa dampak signifikan bagi ekonomi generasi Z, baik dalam hal pendapatan, produktivitas, maupun model bisnis yang berkembang.
Meskipun quiet quitting dapat menurunkan produktivitas dalam jangka pendek, perubahan yang dihasilkan dapat mendorong dunia kerja yang lebih sehat dan berkelanjutan. Perusahaan harus menyesuaikan diri dengan tuntutan tenaga kerja muda, sementara gen Z sendiri perlu mencari keseimbangan antara menjaga kesejahteraan pribadi dan tetap berkontribusi pada pertumbuhan ekonomi.
Pada akhirnya, quiet quitting bukan hanya tentang menolak bekerja lebih dari yang diwajibkan, tetapi juga tentang menciptakan ekosistem kerja yang lebih adil dan berorientasi pada kesejahteraan karyawan.
Dengan adanya pemahaman yang lebih baik tentang fenomena quiet quitting, baik pekerja maupun perusahaan dapat menemukan solusi yang saling menguntungkan untuk masa depan dunia kerja yang lebih seimbang dan inklusif.