FINANCE

Demi Membendung Aset Kripto, Nigeria Rilis Mata Uang Digital Nasional

Pengembangan mata uang digital sudah dimulai banyak negara.

Demi Membendung Aset Kripto, Nigeria Rilis Mata Uang Digital NasionalShutterStock/Chan2545
25 October 2021
Follow Fortune Indonesia untuk mendapatkan informasi terkini. Klik untuk follow WhatsApp Channel & Google News

Jakarta, FORTUNE - Daftar negara-negara dunia yang sanggup menggunakan mata uang digital dari bank sentralnya sendiri (central bank digital currency/CBDC) sepertinya bakal bertambah. Terkini, pemerintahan Nigeria dilaporkan akan meluncurkan mata uang digital bernama eNaira.

Mengutip Investopedia, istilah mata uang digital bank sentral/CBDC ini mengacu kepada bentuk virtual atau elektronik dari sebuah mata uang fiat. CBDC merupakan catatan elektronik atau token digital dari mata uang resmi yang dikeluarkan oleh otoritas moneter (seperti bank sentral) dalam suatu negara.

Sebagaimana diwartakan Reuters, Nigeria pada Senin (25/10) ini akan meluncurkan mata uang digitalnya yang bernama eNaira. Ini setelah negara tersebut melarang industri perbankan maupun lembaga keuangan lainnya memfasilitasi transaksi dalam mata uang kripto.

Menurut Gubernur Bank Sentral Nigeria (CBN), Godwin Emfiele, e-Naira akan beroperasi layaknya dompet digital (e-wallet). Para pengguna dompet ini, lanjutnya, nantinya dapat menyimpan dana yang ada di rekening perbankan mereka.

“eNaira menandai langkah maju yang besar dalam evolusi uang. CBN berkomitmen untuk memastikan bahwa eNaira, seperti Naira fisik, dapat diakses oleh semua orang," kata bank tersebut dalam sebuah pernyataan yang dikutip Reuters, Minggu (24/10).

Sebelumnya pada Kamis (7/10) lalu, Emfiele menyebut bahwa Nigeria akan menjadi salah satu negara pertama di Afrika yang mengadopsi digitalisasi pada mata uang resminya. Selain untuk mendukung pelarangan mata uang kripto, penerbitan mata uang digital ini juga demi mempercepat inklusi keuangan serta memungkinkan transaksi yang lebih murah dan cepat.

Menurut Investopedia, gagasan awal pengembangan mata uang digital di banyak negara memang utamanya demi merespons kehadiran mata uang kripto (cryptocurrency). Pasalnya, karakteristik mata uang kripto disinyalir “bertentangan” dengan sistem keuangan pada umumnya.

Sebagaimana diketahui, kripto merupakan mata uang digital yang diamankan oleh kriptografi. Mereka ini terletak dalam sebuah jaringan terdesentralisasi yang didasarkan pada blockchain. Kripto memungkinkan transaksi keuangan tanpa batas dan langsung, termasuk tanpa perantara dan antar penerima seperti otoritas moneter dalam suatu perekonomian.   

Meskipun saat ini ekosistem keuangan kripto belum menimbulkan ancaman bagi sistem keuangan eksisting. Namun, kripto  diyakini berpotensi menganggu dan “menyederhanakan sistem” yang ada. Kondisi inilah, yang menurut beberapa ahli, menjadi alasan bagi bank sentral untuk menyusun dan mengembangkan mata uang digital sebagai antisipasi berbagai kemungkinan itu.

Sudah resmi di 5 negara, lainnya uji coba

Inisiatif mengembangkan (bahkan meluncurkan) mata uang digital sudah banyak dilakukan terlebih dahulu oleh sejumlah negara. Hal ini tercatat dalam Central Bank Digital Currency Tracker yang dibuat oleh Atlatic Council.

Atlatic Council membuat dashboard yang menemukan bahwa ada 81 negara (mewakili 90 persen perekonomian dunia) yang telah melakukan eksplorasi terhadap CDBC. Dari jumlah tersebut, lima negara secara resmi sudah merilis CDBC-nya, yaitu: Bahama (The Bahamas), Federasi Saint Kitts, dan Netvis, Antigua dan Barbuda, Saint Lucia, dan Grenada.

Menurut catatan Atlatic Council, Bahama, misalnya, menjadi negara pertama di dunia yang telah meluncurkan mata uang digitalnya (Sand Dollar), Oktober tahun lalu. CBDC negara ini juga telah tersedia untuk digunakan bagi seluruh warganya. Integrasi mata uang digital Bahama dengan perbankan komersial juga akan diluncurkan secara bertahap.

Sementara sudah ada 14 negara yang tengah melakukan uji coba (pilot) CBDC, di antaranya: Tiongkok, Korea Selatan, Hong Kong, Singapura, Thailand, dan lainnya. Tiongkok, misalnya, disebut-sebut menjadi negara ekonomi maju pertama yang menguji coba mata uang digital.

Pada April tahun lalu, bank sentral Tiongkok mulai menguji coba yuan digital (dikenal dengan kode e-CNY) di empat kota. Uji coba dilakukan untuk melihat kemungkinan perbankan melaksanakan tes internal seperti konversi uang tunai dan uang digital, mengecek saldo rekening, dan pembayaran. Pada Agustus tahun yang sama, uji coba yuan digital itu diperluas ke 28 negara.

Tahun ini, per Juni lalu, bank sentral Tiongkok mengumumkan bahwa lebih dari 20,87 juta dompet yuan digital pribadi dan 3,51 juta perusahaan telah dibuka dengan total nilai transaksi sekitar $5,39 miliar. Pemerintahan Tiongkok bahkan menargetkan penggunaan yuan digital secara luas diharapkan terjadi pada Olimpiade 2022 termasuk untuk para atlet dan pengunjung asing.

Rupiah digital masih menunggu BI

Dashboard Atlatic Council juga mencatat Indonesia termasuk dalam negara yang tengah mengeksplorasi mata uang digital. Namun, masih dalam tahap riset.

Menurut lembaga tersebut, seperti banyak bank sentral lain, Bank Indonesia (BI) juga disebut mengembangkan rupiah digital untuk mengantisipasi mata uang kripto. BI sampai saat ini juga masih melarang aset kripto sebagai alat pembayaran yang sah.

Direktur Eksekutif Kepala Departemen Komunikasi BI, Erwin Haryono, Rabu (27/8) mengatakan, lembaganya sedang memikirkan cara dalam mengembangkan rupiah digital yang relevan dengan perkembangan digitalisasi. Selain itu, bank sentral juga tengah mempertimbangkan bagaimana agar mata uang digital ini tidak meganggu kondisi perbankan nasional.

Erwin juga menyebutkan sebelum menerbitkan mata uang digital itu, pemerintah juga harus terlebih dahulu merevisi Undang-Undang yang selama ini hanya mengakui penggunaan mata uang fisik. Ia juga berpendapat setiap kementerian dan lembaga pemerintah perlu terlebih dahulu bersinergi membuat strategi nasional menghadapi digitalisasi.

“Karena ada beberapa hal tentang infrastruktur digital yang harus dibangun dulu, termasuk sistem hukum, khususnya perlindungan data dan konsumen,” kata Erwin, seperti dikutip dari Antara.

Related Topics