FINANCE

Diterpa Krisis Energi dan Properti, Perekonomian Tiongkok Melambat

Ekonomi Tiongkok pada kuartal III di luar ekspektasi analis.

Diterpa Krisis Energi dan Properti, Perekonomian Tiongkok MelambatWarga mengunjungi Tembok China pada liburan Hari Nasional menyusul penyebaran penyakit virus korona (COVID-19) di Beijing, China, Jumat (1/10/2021). ANTARA FOTO/REUTERS/Thomas Peter/foc/cfo
19 October 2021
Follow Fortune Indonesia untuk mendapatkan informasi terkini. Klik untuk follow WhatsApp Channel & Google News

Jakarta, FORTUNE - Perekonomian Tiongkok pada kuartal ketiga tahun ini melambat setelah pada kuartal sebelumnya berhasil tumbuh dengan signifikan. Perlambatan perekonomian Negeri Tirai Bambu ini besar disebabkan oleh krisis energi dan properti yang sedang menimpa negara tersebut.

Berdasarkan data dari Biro Statistik Nasional Tiongkok, perekonomian pada Juli-September tahun ini hanya tumbuh 4,9 persen secara tahunan (year-on-year/yoy). Itu artinya ekonomi Tiongkok melambat dari pertumbuhan ekonomi triwulan sebelumnya mencapai 7,9 persen.

Bahkan, pada kuartal pertama 2021 ini, ekonomi Tiongkok sanggup tumbuh 18,3 persen. Jika dilihat secara kuartalan (quarter-to-quarter/qtq) ekonomi negara tersebut pada kuartal ketiga juga hanya tumbuh 0,2 persen.

“Setelah memasuki kuartal ketiga, risiko dan tantangan di dalam dan luar negeri meningkat dengan pandemi yang terus menyebar dan pemulihan ekonomi dunia yang melambat,” kata Fu Linghui dari Biro Statistik Tiongkok, Senin (18/10), seperti dikutip dari The Financial Times.

Pertumbuhan produk domestik bruto (PDB) Tiongkok pada kuartal ketiga ini juga di luar ekspektasi para analis. Berdasarkan jajak pendapat yang dihimpun oleh Reuters, ekonomi Negeri Tirai Bambu sebelumnya diprediksi sanggup tumbuh 5,2 persen secara tahunan.

Akibat krisis energi dan properti

Ilustrasi Evergrande
Shutterstock/hxdbzxy

Perlambatan perekonomian Tiongkok ini disinyalir akibat krisis energi dan properti yang sedang menimpa negara tersebut. Krisis energi muncul lantaran Tiongkok tengah kekurangan pasokan listrik untuk kebutuhan industri dan rumah tangga. Di saat yang sama, Tiongkok juga tengah menghadapi gonjang-ganjing pasar properti akibat gagal bayar Evergrande Group, perusahaan properti terbesar kedua.

Dampak krisis energi ini tampak dari pertumbuhan output industri secara keseluruhan yang hanya 3,1 persen – dan menjadi pertumbuhan paling lambat sejak Maret 2020. Output untuk industri aluminium, misalnya, turun selama lima bulan berturut-turut, sedangkan output baja mentah harian terendah sejak 2018.

Sementara efek negatif krisis properti tampak dari capaian kontruksi bangunan baru yang turun 4,5 persen. Meskipun, dari sisi investasi properti masih tumbuh 8,8 persen pada 2021 dan investasi aset juga naik 7,8 persen.

“Menanggapi angka pertumbuhan yang buruk, kami harapkan dalam beberapa bulan para  pembuat kebijakan akan mengambil lebih banyak langkah untuk menopang pertumbuhan, termasuk memastikan likuiditas yang cukup di pasar antar bank, mempercepat pembangunan infrastruktur, dan melonggarkan beberapa aspek dari kebijakan kredit dan real estat secara keseluruhan, " kata Louis Kuijs, kepala ekonomi Asia di Oxford Economics.

Di luar itu, perekonomian Tiongkok disinyalir masih tumbuh berkat tingkat konsumsi masyarakat Tiongkok yang membaik. Hal ini tampak dari pertumbuhan penjualan ritel yang meningkat sebesar 4,4 persen pada September dan 2,5 persen pada Agustus. Kenaikan indikator ini juga melampaui ekspektasi banyak pihak.

Ekspor Tiongkok pada bulan lalu juga masih tumbuh bahkan mencapai 28 persen secara tahunan. Hal ini mengindikasikan ketahanan sektor perdagangan negara tersebut meskipun ada krisis energi dan tantangan rantai pasokan lainnya.

Sementara itu, Perdana Menteri Li Keqiang mengatakan negaranya memiliki alat yang cukup untuk mengatasi tantangan ekonomi meskipun pertumbuhan melambat. Ia juga optimistis dalam upaya mencapai tujuan pembangunan setahun penuh.

Gubernur Bank Rakyat Tiongkok, Yi Gang, juga mengatakan ekonomi diperkirakan akan tumbuh delapan persen pada tahun ini. Namun, bank sentral tetap akan hati-hati untuk mengambil keputusan pelonggaran moneter akibat kekhawatiran utang yang tinggi dan risiko krisis properti.

Related Topics