Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel Fortune IDN lainnya di IDN App
ilustrasi scroll e-commerce (pixabay.com/HutchRock)

Intinya sih...

  • Pemerintah tengah menggodok aturan pengenaan pajak kepada pedagang online di berbagai platform e-commerce

  • Hal ini menciptakan ketidakadilan fiskal di ruang digital. Sebab, digital ekonomi nasional saat ini dikuasai raksasa teknologi global, seperti Google, Meta, Apple, Amazon, dan Netflix yang hanya dipungut PPN Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PMSE) 11 persen dan tidak menyasar keuntungan yang ditarik keluar negeri. 

  • Belajar Digital Services Tax (DST) versi Kanada yang mengenakan pajak atas pendapatan digital perusahaan teknologi global

  • Direktorat Jenderal Pajak telah memungut penerimaan pajak dari sektor ekonomi digital senilai Rp34,91 triliun hingga 31 Maret 2025

Jakarta, FORTUNE – Pemerintah tengah menggodok aturan pengenaan pajak kepada pedagang online di berbagai platform e-commerce seperti Shopee, TikTok Shop by Tokopedia, Blibli, hingga Lazada. Nantinya, platform e-commerce ditunjuk sebagai pemungut Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 22 atas penjualan barang oleh pedagang online.

Ekonom dan Pakar Kebijakan Publik, UPN Veteran Jakarta, Achmad Nur Hidayat memandang rencana tersebut sebagai ketidakadilan fiskal di ruang digital. Sebab, ekonomi digital nasional saat ini masih dikuasai raksasa teknologi global, seperti Google, Meta, Apple, Amazon, dan Netflix yang hanya dipungut PPN Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PMSE) 11 persen. Sistem pajak yang berlaku sejauh ini tidak menyasar keuntungan yang ditarik keluar negeri. 

“Ketika pajak hanya dikenakan kepada pedagang kecil-menengah marketplace lokal, tetapi tidak kepada perusahaan global yang mereguk revenue miliaran, maka di situlah keadilan fiskal gagal terwujud,” kata Achmad kepada Fortune Indonesia (29/6).

Menurutnya, tanpa kebijakan fiskal yang melibatkan perusahaan global, Indonesia akan terus berada di posisi lemah, hanya menjadi pasar tanpa mendapatkan kontribusi fiskal yang proporsional. 

“Skema PPh 22 e-commerce yang menargetkan marketplace lokal memang menutup celah shadow economy domestik, namun meninggalkan lubang besar dalam keadilan fiskal digital. Karena tidak menyasar revenue raksasa digital global yang mengekstrak nilai ekonomi Indonesia tanpa kontribusi fiskal proporsional,” katanya.

Belajar Digital Services Tax (DST) versi Kanada

sumber : https://pixabay.com/id/photos/e-commerce-perdagangan-online-3692440/

Penerapan pajak digital juga digunakan oleh Kanada melalui Digital Services Tax (DST) pada Juni 2024. DST Kanada mengenakan pajak 3 persen atas pendapatan digital perusahaan teknologi global dengan omzet di atas €750 juta dan revenue di Kanada di atas $20 juta. Pajak ini bersifat retroaktif dan menargetkan pendapatan iklan, data pengguna, dan marketplace yang selama ini tak tersentuh pajak korporasi Kanada. 

Bahkan, kebijakan ini memetik kemarahan Presiden Trump dengan memutus negosiasi dagang AS-Kanada pada 27 Juni 2025, menuduh DST sebagai diskriminasi terhadap perusahaan AS. Google bahkan mengenakan surcharge tambahan kepada pengiklan di Kanada untuk menutup beban DST.

Situasi itulah yang terjadi pada ekonomi digital Indonesia saat ini. Marketplace lokal dipajaki, UMKM digital diatur kepatuhannya, sementara perusahaan global hanya dikenakan PPN PMSE tanpa DST atas keuntungan mereka.

“Kanada memahami hal ini dan memutuskan mengambil risiko fiskal dan diplomasi. Dengan DST, mereka mengukuhkan kedaulatan fiskal atas revenue digital di wilayah yurisdiksi mereka. Namun risikonya tinggi, termasuk ancaman retaliasi tarif impor AS dan terganggunya perundingan dagang,” katanya.

Karena itu, Indonesia saat ini memilih jalur aman dengan menunggu kesepakatan multilateral OECD sambil menata reformasi domestik melalui PPN PMSE dan rencana PPh 22 untuk pedagang marketplace.

Direktorat Jenderal Pajak (DJP) sendiri telah memungut penerimaan pajak dari sektor ekonomi digital senilai Rp34,91 triliun hingga 31 Maret 2025. Kontribusi terbesar berasal dari Pajak Pertambahan Nilai (PPN) atas Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PMSE) yang mencapai Rp27,48 triliun.

Selain itu, pemerintah juga mencatat penerimaan dari pajak kripto sebesar Rp1,2 triliun, pajak fintech (P2P lending) sebesar Rp3,28 triliun, dan pajak dari transaksi pengadaan pemerintah melalui Sistem Informasi Pengadaan Pemerintah (SIPP) sebesar Rp2,94 triliun.

UMKM dengan omzet di bawah Rp500 juta tak dikenakan pajak

ilustrasi orang checkout di e-commerce (pexels.com/cottonbro studio)

Di sisi lain, Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan, Rosmauli, menegaskan bahwa kebijakan ini bukan bentuk pungutan pajak baru.

Rosmauli menegaskan bahwa UMKM perorangan atau penjual dengan omzet tahunan di bawah Rp500 juta tidak akan dikenai pajak dalam skema ini. Ia juga menyatakan bahwa sistem ini justru akan memudahkan penjual dalam pelaporan pajak.

“Pada dasarnya ini merupakan pergeseran mekanisme pembayaran pajak dari yang sebelumnya dilakukan secara mandiri oleh pedagang, menjadi sistem pemungutan oleh marketplace sebagai pihak yang ditunjuk,” kata Rosmauli.

Selain menyederhanakan administrasi bagi penjual, tujuan lain dari aturan ini adalah menciptakan kesetaraan perlakuan antara pelaku usaha konvensional dan digital. Pemerintah juga berharap sistem ini dapat menutup celah shadow economy dari pedagang yang belum patuh pajak karena berbagai alasan.

Editorial Team