Pengetatan Likuiditas dan Kredit Macet jadi Tantangan Bank di 2023
Bank diperkirakan bakal selektif salurkan kredit & jaga DPK.
Jakarta, FORTUNE - Risiko pengetatan likuiditas, seretnya penyaluran kredit hingga potensi kredit macet menjadi bayang-bayang kelam perbankan di tahun 2023 mendatang.
Kondisi tersebut masih perlu diantisipasi oleh perbankan nasional mengingat suku bunga acuan yang semakin meningkat serta ketidakpastian ekonomi global dan domestik yang masih berlangsung.
Direktur Utama Bank Mandiri Darmawan Junaidi bahkan meyatakan, kondisi tersebut dapat memengaruhi pemburukan kinerja perbankan nasional di tahun-tahun mendatang.
"Kami melihat beberapa tantangan perbankan ke depan seperti, risiko spillover (meluap) dampak memburuknya kinerja industri perbankan domestik yang mungkin akan memberi dampak terhadap exposure pinjaman dan beberapa transaksi yang mungkin tidak setinggi tahun ini," kata Darmawan melalui konferensi pers secara virtual di Jakarta, Rabu (26/10).
Darmawan menyatakan, suku bunga acuan sejumlah bank sentral di sejumlah negara mulai merangkak naik tak terkecuali di Indonesia. Hal tersebut nampaknya untuk mengimbangi suku bunga acuan Fed Fund Rate (FFR) milik bank sentral AS, Federal Reserve. Meski demikian, pihaknya di Bank Mandiri terus mengantisipasi kondisi tersebut agar tetap menjaga pertumbuhan bisnis.
"Sehingga kita akan melihat likuiditas pasar pasti akan terpengaruh lebih menurun," kata Darmawan.
Jaga likuiditas dengan selektif menyalurkan kredit
Sementara itu, Direktur Utama Bank Negara Indonesia (BNI) Royke Tumilaar juga tak menampik bakal ada volatilitas global yang cukup tinggi. Untuk itu, perbankan harus siapkan strategi menghadapi potensi resesi ekonomi akibat kenaikan suku bunga acuan dan inflasi yang cukup tinggi.
Langkah antisipatif yang dilakukan BNI ialah dengan menjaga likuiditas melalui penyaluran kredit yang lebih konservatif. Hal ini sebagai upaya mempertahankan Rasio Kredit Terhadap Simpanan atau Loan to Deposit Ratio (LDR). Adapun per September 2022 LDR BNI berada di posisi 91,2 persen.
"Jadi secara likuiditas memang tahun depan pasti akan cukup ketat, untuk itu kami sudah antisipatif dalam menjaga likuiditas yang cukup dan pertumbuhan kredit yang sehat," kata Royke melalui konferensi video di Jakarta, Selasa (25/10).
Royke menambahkan, dengan penyaluran kredit yang lebih selektif, diharap kredit macet atau non performing loan (NPL) akan terjaga sehat.
Tata dan kelola kondisi penghimpunan DPK
Sejalan dengan pandangan BNI, Direktur Utama Bank Syariah Indonesia (BSI) Hery Gunardi juga menilai kredit perbankan nasional akan lebih selektif. Namun demikian, Hery menyebut bank juga harus menata dan menjaga dana murah melalui penghimpunan dana pihak ketiga (DPK).
Kondisi tersebut dirasa perlu untuk menopang kinerja penyaluran kredit mendatang. Apalagi, tren pertumbuhan DPK secara industri sudah mulai melambat seiring dengan kenaikan bunga acuan Bank Indonesia (BI).
"Saya rasa (DPK) itu yang perlu kita cermati. di samping itu juga banyak pendapat bahwa pengamat melihat bahwa tahun depan memang tahun yang akan lebih challenging," kata Hery melalui konferensi video di Jakarta Kamis (28/10).
Berdasarkan data BI, pertumbuhan DPK perbankan pada Agustus 2022 hanya mencapai 7,77 persen secara year on year (yoy) atau lebih rendah dibandingkan pertumbuhan pada Juli 2022 sebesar 8,59 persen.
Selain itu, diketahui bersama, suku bunga acuan Bank Indonesia (BI) 7-Day Reverse Repo Rate (BI7DRR) kembali naik sebesar 50 basis poin (bps) menjadi 4,75 persen pada periode Oktober 2022.
Langkah bank sentral terbilang agresif, sebab sebelumnya BI telah menaikan bunga acuan dua kali pada periode Agustus 2022 sebesar 25 basis bps dan September 2022 sebesar 50 bps.