Ilustrasi Debt Collector/ Shutterstock Andrey Povpov
Ia menambahkan, wacana penghapusan SLIK OJK untuk mempermudah kredit rumah subsidi merupakan kebijakan yang sangat berisiko. SLIK sendiri merupakan salah satu instrumen utama yang digunakan bank atau lembaga keuangan untuk menilai kelayakan debitur sebelum memberikan pinjaman.
Lebih lanjut kata Hans, apabila SLIK dihapus maka sama saja menghilangkan alat navigasi bagi perbankan dalam menyalurkan kredit. Tanpa data riwayat kredit, bank akan sulit menilai apakah seorang calon debitur mampu membayar kewajibannya di masa mendatang. “Kalau SLIK tadi dihapus, kemudian orang itu dapat kredit, maka kredit-kredit itu potensi macetnya akan sangat tinggi,” kata Hans.
Hans juga mengingatkan bahwa peningkatan kredit macet atau Non Performing Loan (NPL) dapat mengancam kesehatan perbankan secara keseluruhan. Apalagi, NPL KPR saat ini dalam tren kenaikan. Berdasarkan data Statistik Sistem Keuangan Indonesia (SSKI) Bank Indonesia, rasio NPL KPR per September 2025 berada di level 3,31 persen atau mengalami kenaikan dari posisi September 2024 di 2,64 persen.
Menurut Hans, kebutuhan akan hunian memang penting, tetapi tidak semua orang yang membutuhkan hunian itu layak mendapatkan fasilitas kredit. "Kalau perbankan terganggu, implikasinya luas karena bisa men-trigger terjadinya krisis pada ekonomi Indonesia secara keseluruhan," tambahnya.
Untuk itu, agar tidak mengorbankan stabilitas keuangan, Hans mengusulkan agar pemerintah membuat mekanisme rumah, rumah susun atau apartemen yang disewakan dengan subsidi sehingga harganya terjangkau.
Seperti diketahui, usulan penghapusan SLIK dilontarkan oleh Menteri Perumahan dan Kawasan Permukiman (PKP) Maruarar Sirait saat rapat kerja (raker) bersama DPR RI beberapa waktu lalu. Ia menilai, banyak Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR) yang kesulitan dan gagal dalam pengajuan KPR lantaran memiliki level SLIK yang buruk. Kondisi ini dinilai menghambat proses penyaluran KPR subsidi.