Jakarta, FORTUNE - Raksasa barang mewah asal Prancis, LVMH, semakin mengandalkan kecerdasan buatan (AI) untuk memperkuat efisiensi operasional dan menjaga loyalitas pelanggan di tengah melambatnya permintaan barang mewah global. Perusahaan yang membawahi merek-merek prestisius seperti Tiffany, Dior, dan Celine itu menyebut AI dan agen digital sebagai elemen kunci dalam menghadapi tantangan pasar saat ini.
“Pasar menjadi semakin sulit bagi semua orang,” ujar Direktur IT dan Teknologi Grup LVMH, Franck Le Moal, melansir The Wall Street Journal, Selasa (10/6).
Dalam empat tahun terakhir, LVMH menggandeng Google Cloud untuk membangun platform data terpusat yang menghimpun informasi dari 75 merek (maison) di bawah naungannya. Data tersebut kini dimanfaatkan melalui AI prediktif, AI generatif, dan agen cerdas untuk mendukung berbagai fungsi, mulai dari perencanaan rantai pasok, penetapan harga, desain produk, pemasaran, hingga personalisasi layanan.
Kondisi pasar barang mewah mengalami tekanan sejak akhir ledakan konsumsi pasca-pandemi. Menurut Carole Madjo, Kepala Riset Barang Mewah Eropa di Barclays, peritel barang mewah sempat menaikkan harga sebesar 20 persen hingga 30 persen selama pandemi karena inflasi dan tingginya minat beli konsumen. Namun kini, lemahnya perekonomian di dua pasar utama LVMH—Amerika Serikat dan Tiongkok—telah memukul sentimen konsumen.
Madjo menambahkan bahwa divisi fesyen dan barang kulit LVMH—yang mencakup Celine, Fendi, Givenchy, dan Dior—melaporkan penurunan pendapatan tahun lalu. “Mungkin Anda mulai melihat sebagian konsumen tidak sepenuhnya loyal dan tidak kembali membeli barang dari merek tersebut,” katanya. Namun LVMH membantah kehilangan daya tarik. Perusahaan menyebut tren saat ini sebagai normalisasi industri setelah masa pertumbuhan luar biasa pasca-pandemi.