Jakarta, FORTUNE - Di balik koper kulit yang menjelajah dunia, di antara jahitan monogram yang tak lekang oleh zaman, Louis Vuitton menyimpan hasrat lain—yang tak terdengar berderak di lintasan roda, tapi berdenting pelan di meja makan.
Suatu pagi di Osaka, Februari 2020, ketika matahari menyentuh atap butik Louis Vuitton, sebuah pintu dibuka menuju dunia baru: bukan ruang ganti, bukan toko, melainkan sebuah restoran. Le Café V dan Sugalabo V—dua nama yang menandai awal dari sebuah babak baru bagi rumah mode yang lahir dari perjalanan. Kali ini, bukan koper yang dibawa, melainkan rasa.
Louis Vuitton sedang menulis ulang bahasa kemewahan. Ia tidak lagi dijual dalam bentuk tas tangan atau kacamata hitam, tapi dihidangkan dalam bentuk ravioli berukir monogram, cokelat berbentuk tas mini, dan tomat marmer yang dipotong setipis sutra. Dunia ini bukan hanya tentang apa yang dikenakan, tapi juga tentang apa yang dikecap dan dikenang.
Di Saint-Tropez, kota kecil yang dulu hanya ramai di musim panas, lahirlah Louis Vuitton Culinary Community atau komunitas kuliner Louis Vuitton—gagasan yang diracik oleh dua tangan ahli: Arnaud Donckele, koki yang tahu bagaimana menyeimbangkan keheningan dalam kaldu, dan Maxime Frédéric, pembuat manis yang memperlakukan cokelat seperti wasiat keluarga.
Mereka tak sekadar membuat restoran. Mereka membangun jaringan rasa, dari Bangkok hingga Chengdu, dari Doha ke New York, yang disatukan bukan oleh resep, melainkan oleh filosofi: menghadirkan keanggunan dalam suapan, bukan hanya tampilan. “Kami ingin pengalaman kuliner Louis Vuitton terasa santai,” ujar Donckele, dalam keterangannya (20/5).
Frédéric menambahkan, “Kami mendorong para koki untuk berkembang, tapi tetap dalam semangat Louis Vuitton.”
Dan semangat itu hidup di Saint-Tropez, di halaman hotel White 1921, tempat restoran mereka kembali membuka musim hingga September 2025. Di sanalah pohon pinus melindungi meja makan dari silau matahari, dan aroma lobster panggang dengan saus shiso berputar lembut bersama angin. Ada ikan sole dengan rempah lokal, ada vacherin rhubarb yang disajikan seolah waktu bisa berhenti sejenak di sore hari. Dan di setiap piring, warisan itu berbicara—bukan lewat kata-kata, tapi rasa.