Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel Fortune IDN lainnya di IDN App
Perkebunan sawit
Ilustrasi perkebunan sawit (unsplash.com/Mike Von)

Intinya sih...

  • BWPT mengubah limbah tandan kosong kelapa sawit menjadi bahan baku bernilai tinggi untuk industri manufaktur.

  • Proses menuju industrialisasi inovasi hijau masih panjang dan berliku.

  • Perlu kebijakan yang mendukung, kolaborasi dengan pemerintah, lembaga riset, dan lintas sektor.

Disclaimer: This summary was created using Artificial Intelligence (AI)

Jakarta, FORTUNE — Emiten perkebunan sawit, PT Eagle High Plantations Tbk (BWPT), telah mengubah limbah tandan kosong menjadi bahan baku bernilai tinggi bagi industri manufaktur.

Melalui anak usahanya, PT Singaland Asetama (SGA), BWPT berhasil mengolah limbah tersebut menjadi bio-oil, yang kemudian diubah menjadi karbon hitam ramah lingkungan—bahan utama dalam pembuatan ban, karet, cat, hingga berbagai produk manufaktur.

Upaya ini mengantarkan SGA meraih juara pertama dalam ajang SDG Innovation Pitch Showcase pada rangkaian UN Global Compact Leaders Summit 2025.

Namun di balik penghargaan tersebut, ada kenyataan lebih kompleks.

CEO Eagle High Plantations, Henderi Djunaidi, mengakui proses menuju penerapan komersial produk ini tidak mudah. Selain butuh riset mendalam, inisiatif tersebut juga harus menembus belantara regulasi.

“Kalau kita mau jadikan ini industri hari ini, tentu regulasinya panjang. Ada izin, NIB, sampai urusan teknis yang butuh waktu. Jadi, kami mulai dari inisiatif CSR, supaya ide ini bisa jalan dulu,” kata Henderi saat konferensi pers di Jakarta, Kamis (16/10).

Menurutnya, inovasi pada perusahaan ini tidak hanya soal teknologi, tetapi juga soal mindset. Semangat generasi muda di perusahaan tersebut mendorong lahirnya ide-ide kreatif untuk memanfaatkan limbah sawit.

“Sekarang kami tidak lagi berpikir sebatas sawit, tapi bagaimana dari limbahnya bisa lahir produk baru yang berguna bagi industri lain. Itu bagian dari ekonomi sirkular yang mulai tertanam di budaya kerja kami,” ujarnya.

Meski demikian, tanpa payung hukum yang jelas, potensi besar ekonomi sirkular pada sektor sawit bisa terhenti di tengah jalan. Banyak perusahaan menghadapi tantangan yang sama. Misalnya saja dari sisi regulasi, yang dipandang belum cukup adaptif terhadap inovasi berbasis limbah.

BWPT memproduksi tandan buah segar (TBS) dan memiliki pabrik kelapa sawit yang menghasilkan minyak kelapa sawit (CPO) dan inti sawit (PK). Pusat kegiatan operasional berada di Sumatra, Kalimantan, dan Papua dengan total luas lahan perkebunan mencapai 87.000 hektare.

Sementara itu, total kapasitas pabrik mencapai 2,2 juta ton TBS per tahun.

Perlu ada kebijakan yang mendukung

Hal ini diakui oleh Tenaga Ahli Menteri Lingkungan Hidup, Mohamad Bijaksana Junerosano. Ia menilai, sektor swasta memiliki kelincahan bereksperimen, tetapi tetap membutuhkan dukungan regulasi memadai.

“Perusahaan biasanya lebih lincah dalam berinovasi. Tapi kalau kebijakan tidak diarahkan dengan tepat, industri bisa mati sebelum tumbuh. Karena itu, kolaborasi dengan pemerintah dan lembaga riset menjadi penting agar inovasi seperti ini punya arah yang jelas,” ujarnya.

Bijaksana menambahkan, inovasi pada sektor sawit seharusnya tidak berhenti pada tahap produksi, melainkan mencakup seluruh rantai nilai (value chain)—mulai dari pengolahan, pemanfaatan limbah, hingga pascakonsumsi. Pendekatan ini memungkinkan efisiensi yang lebih besar sekaligus menekan jejak karbon secara menyeluruh.

“Kuncinya ada di perencanaan yang matang. Semua harus well-designed, dari proses produksi sampai pengelolaan limbah. Banyak inovasi bisa dimulai dari langkah-langkah kecil, yang low effort tapi big impact,” katanya.

Bijaksana mengatakan Indonesia tengah menyiapkan berbagai kebijakan pendukung ekonomi hijau, termasuk penyempurnaan aturan tentang nilai ekonomi karbon dan pengelolaan limbah industri. Namun, di tingkat implementasi, banyak inovasi yang masih bergantung pada fleksibilitas birokrasi dan kemauan politik untuk mendorong transisi hijau.

 

Editorial Team