Aksi Korporasi Go Private dalam Pasar Saham: Arti dan Tujuan
Go private merupakan aksi menjadi perusahaan tertutup.
Jakarta, FORTUNE – Perusahaan yang sahamnya tercatat di pasar modal bisa memutuskan untuk melakukan go private alias menjadi perusahaan tertutup. Di Indonesia, kasus perusahaan terbuka yang kemudian menjadi perusahaan tertutup cukup banyak.
Go private merujuk kepada aksi korporasi dari sebuah perusahaan yang memutuskan tidak lagi menjual sahamnya kepada publik. Dalam bahasa yang lebih sederhana, istilah tersebut mengacu kepada perusahaan yang awalnya merupakan perusahaan terbuka karena sahamnya terdaftar di pasar modal, kemudian berubah menjadi perusahaan tertutup.
Dengan menempuh langkah go private, maka saham perusahaan itu secara otomatis akan keluar dari daftar pasar modal, dan karenanya tak lagi bisa diperdagangkan, sebagaimana dilansir dari laman Investasiku
Bagi investor yang memiliki saham perusahaan yang melakukan go private, maka perusahaan itu akan membeli kepemilikan sahamnya, dan secara keseluruhan menebus kembali saham yang dilepas ke publik, demikian laman IDX Channel.
Dalam membeli kembali saham yang dimiliki publik, perusahaan biasanya akan memberikan penawaran harga yang tinggi agar investor tertarik untuk menjualnya.
Istilah go private ini tentu saja berkebalikan dengan go public. Sesuai namanya, go public berarti perusahaan menjual sahamnya kepada masyarakat melalui penawaran umum saham perdana (IPO). Dalam go-public, perusahaan akan mengubah statusnya, dari perusahaan tertutup atau privat, menjadi perusahaan terbuka.
Alasan perusahaan go-private
Ada sejumlah alasan bagi perusahaan untuk melakukan go private, seperti dilansir dari laman IDX Channel. Salah satu yang paling umum adalah saham itu tidak lagi likuid di bursa. Alasan lain, perusahaan tak kunjung melakukan perbaikan usai mendapatkan sanksi yang berkepanjangan dari otoritas pasar modal.
Sementara, situs web Ajaib menyebut beberapa faktor pendorong yang menyebabkan perusahaan terbuka memutuskan untuk mengubah statusnya menjadi perusahaan tertutup. Di antaranya, perusahaan tersebut mengalami kesulitan untuk melaksanakan ketentuan dari otoritas pasar modal.
Beberapa ketentuan itu, di antaranya merilis laporan keuangan dalam empat kali selama empat tahun dan kewajiban menyampaikan keterbukaan informasi atas setiap situasi bisnis yang penting.
Berikut setidaknya dua bentuk alasan perusahaan yang memutuskan go private, menurut laman Ajaib.
- Forced delistings (penghapusan paksa)
Perusahaan yang terkena forced delistings atau penghapusan saham secara paksa oleh regulator biasanya adalah perusahaan yang memiliki kinerja buruk, seperti perdagangan sahamnya telah disetop dalam waktu lama, tak menghasilkan laba, terancam likuidasi. Dengan begitu, reputasi perusahaan menjadi buruk di mata pelaku pasar.
Lantaran kinerja dan ketidakmampuan manajemen perusahaan tersebut, maka perusahaan diharuskan keluar dari keanggotaan bursa saham.
- Voluntary delistings (Keluar secara sukarela)
Perusahaan terbuka yang menjadi perusahaan tertutup bisa jadi karena alasan yang beragam, mulai dari keuangan yang sehat, serta mampu mendulang keuntungan.
Dengan menjadi perusahaan tertutup, tentunya perusahaan itu tidak perlu melaporkan kewajiban, menyampaikan informasi kepada publik, maupun membagikan deviden kepada pemegang saham.
Manfaat dan tujuan go-private
Perusahaan yang memutuskan untuk menjadi perusahaan tertutup memiliki sejumlah tujuan. Dilansir dari IDX Channel, tidak sedikit perusahaan yang mengambil langkah go private untuk berfokus pada strategi dan tujuan jangka panjang.
Hal itu kemungkinan terjadi karena perusahaan gagal untuk memenuhi target jangka pendek melalui go public. Saham perusahaan yang turun akibat kegagalan tersebut membuat mereka memilih go private.
Laman Big Alpha melansir Investopedia, salah satu manfaat dari go private adalah memberikan kebebasan waktu bagi manajemen untuk fokus menjalankan dan mengembangkan bisnis perusahaan.
Dengan berstatus tertutup, perusahaan tak lagi memiliki kewajiban untuk memenuhi peraturan sebagai perusahaan terbuka, seperti menerbitkan laporan keuangan yang biasanya akan disorot oleh pelaku pasar, investor, maupun analis.
Usai go private, perusahaan dapat berfokus pada pengembangan strateginya di pasar, serta pembangunan tujuan jangka panjang.
Kasus go private di Indonesia
Di pasar modal Indonesia, aksi go private dipelopori pertama kali pada 1996 oleh PT Praxair Indonesia Tbk. Setelah itu, beberapa perusahaan menempuh langkah serupa, demikian laman Ajaib.
Pada kurun 2009–2015, ada 28 perusahaan mundur dari Bursa Efek Indonesia. Dari jumlah tersebut, hanya 8 perusahaan yang menghapus sahamnya di pasar saham secara sukarela. Alasan mereka beragam: 4 perusahaan memang memilih go private, 2 perusahaan karena merger, dan 2 perusahaan karena akuisisi.
Aksi ini juga masih terjadi hingga kini. Bahkan pada 2019, ada sejumlah perusahaan yang mengubah statusnya menjadi tertutup: PT Bara Jaya Internasional Tbk, PT Grahamas Citrawisata Tbk , PT Sekawan Intipratama Tbk. (SIAP) pada 17 Juni 2019, dan PT Bank Nusantara Parahyangan Tbk.
Pada ranah internsional, ada sejumlah perusahaan yang akhirnya menjadi perusahaan tutup setelah menjadi perusahaan terbuka. Misalnya PT Aqua Golden Missisippi Tbk (AQUA).
Sementara, PT Unilever Indonesia Tbk sempat diterpa isu go private pada 2022. Perusahaan FMCG itu memberi komentar terhadap analisis yang meminta perseroan menjadi perusahaan tertutup. Ini dikarenakan kinerja saham Unilever yang terus merosot sehingga tidak memberikan keuntungan bagi investor.
Kala itu, manejemen perusahaan berkode saham UNVR itu mengatakan pihaknya menghargai tiap pendapat, analisis, dan masukan menyangkut kinerja perseroan dari berbagai pemangku kepentingan. Unilever menyatakan senantiasa berusaha mengambil setiap aksi dan keputusan bisnis secara profesional dan mengutamakan kepentingan publik, termasuk para investor.