MARKET

Indonesia Produsen Komoditas Raksasa, Tapi Belum Bisa Tentukan Harga

Negeri ini belum berdaulat menentukan harga komoditasnya.

Indonesia Produsen Komoditas Raksasa, Tapi Belum Bisa Tentukan HargaContoh komoditas Indonesia. (Pixabay/tristantan)
19 November 2021
Follow Fortune Indonesia untuk mendapatkan informasi terkini. Klik untuk follow WhatsApp Channel & Google News

Jakarta, FORTUNE - Di tengah COVID-19, 2020 justru menjadi tahun keemasan bagi perdagangan komoditas negara ini. Bursa Berjangka Jakarta (BBJ) mencatatkan volume transaksi 9,02 juta, rekor tertinggi sepanjang sejarah berdiri. Namun, dua dekade hadir, bursa komoditas yang juga dikenal sebagai Jakarta Futures Exchange (JFX) ini belum berdaulat sebagai penentu harga.

“Tahun lalu pokoknya menjadi tahun yang terindah,” ujar Direktur Utama Bursa Berjangka Jakarta (BBJ) atau JFX, Stephanus Paulus Lumintang kepada Fortune Indonesia pada awal September lalu.

Di mata pria lulusan Universitas Klabat Manado itu, pergerakan harga komoditas pada 2020 terbilang cemerlang—khususnya di pertengahan tahun. “Apa pun komoditasnya, yang kontrak kami perdagangkan. Apabila terjadi fluktuasi harga, di situlah ada kesempatan untuk mengambil keuntungan,” ujarnya.

Ia menyebut, nilai volume transaksi perdagangan berjangka komoditi pada 2020 melonjak 328,32 persen untuk kontrak multilateral dan 39,89 persen untuk kontrak SPA (Share Purchase Agreement). Masing-masing setara Rp1.088,50 triliun dan Rp17.319,90 triliun.

Melihat kinerja cantik itu, Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi (Bappebti) akhirnya mengamanahkan BBJ untuk meraih volume transaksi 11,1 juta lot pada 2021. Sanggupkah bursa itu mewujudkan target tersebut?

Tantangan Meraih Target Tahun 2021

Sebagai informasi, BBJ telah membukukan volume transaksi 7.094.959 lot hingga awal kuartal keempat 2021. Itu terdiri atas volume transaksi multilateral 1.295.101 lot, dengan dominasi emas dan kopi. Emas membukukan jumlah volume transaksi 541.898 lot dan kopi 506.236 lot.

Namun, masih perlu setidaknya 4 juta lot lagi untuk memenuhi target yang Bappebti tentukan tahun ini. “Berat,” aku Stephanus, lalu melanjutkan, “tahun ini optimisme masih ada, tapi apakah bisa mencapai 95 persen atau 100 persen dari target, itu lebih sulit.”

Kehadiran investasi substitusi dan ‘bursa’ ilegal menjadi penghambat. Pun begitu dengan fluktuasi harga yang dinilainya tidak naik setinggi 2020. Dia mencontohkan pergerakan harga emas.

“Pada Mei-Juni lalu, naik-turunnya kecil. Jadi tetap terjadi fluktuasi harga, tapi tidak maksimal,” kata Stephanus.

PR untuk Menentukan Harga Komoditas

Memenuhi target volume transaksi bukan satu-satunya pekerjaan rumah bagi BBJ. Sebab, bursa berjangka dibentuk sebagai sarana lindung nilai (hedging) komoditas, acuan harga (price reference), hingga pembentukan harga (price discovery).

“Kita adalah pasar terbuka, sumbernya dari penjual, pembeli, segala macam. Banyak pembeli dan penjual, bertumpuk harga di dalam. Itu nanti pasti akan jadi referensi harga yang kemudian jadi penentu harga,” kata Stephanus.

Meski merupakan produsen utama komoditas seperti sawit dan batu bara, sampai saat ini, Indonesia belum bisa menjadi penentu harga acuan komoditas global. Bukan cuma BBJ, Bursa Komoditi dan Derivatif Indonesia (BKDI) atau ICDX Group dan Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi (Bappebti) harus bekerja lebih keras.

Related Topics