MARKET

Konflik Ukraina-Rusia Membayangi Lonjakan Harga Minyak dan Inflasi

Kenaikan harga minyak akan memengaruhi tingkat inflasi.

Konflik Ukraina-Rusia Membayangi Lonjakan Harga Minyak dan InflasiKonflik Rusia-Ukraina. (Shutterstock/Tomas Ragina)
15 February 2022
Follow Fortune Indonesia untuk mendapatkan informasi terkini. Klik untuk follow WhatsApp Channel & Google News

Jakarta, FORTUNE - Kenaikan komoditas minyak dan emas terus berlanjut di tengah ketegangan antara Rusia dan Ukraina. Harga minyak yang mulai melonjak  menuju US$100 per barel,tertinggi sejak 2014 akan memberikan dampak besar bagi perekonomian dunia dan tingkat inflasi. 

Menurut Associate Director of Research and Investment Pilarmas Investindo Sekuritas, Maximilianus Nico Demus bila harga minyak naik dari US$70 menjadi US$100, maka inflasi akan terdorong 1,5 persen di Amerika Serikat (AS) dan Eropa.

JP Morgan juga memproyeksikan potensi peningkatan inflasi di atas 7 persen jika harga minyak menyentuh level US$150 per barel. Kenaikan itu tiga kali lebih besar dari peningakatan yang ditargetkan oleh para pembuat kebijakan moneter.

Sedanxgkan Goldman Sachs memperkirakan, jika terjadi kenaikan harga minyak hingga US$100 dan konsisten hingga kuartal III 2022 maka inflasi akan meningkat 0,6 persen.

“Negara berkembang yang paling terpukul saat ini,” kata Nico dan tim dalam riset hariannya, Selasa (15/2).

Ketidakpastian geopolitik Ukraina-Rusia

Minyak, batu bara, dan gas alam saat ini meruopkan 80 persen sumber energi yang mempengaruhi ekonomi global, dimana biaya komoditas ini telah meningkat hampir 50 persen dibanding tahun lalu dengan sentimen utama konflik Ukraina dan Rusia.

Konflik geopolitik ini memanas setelah Rusia menempatkan 130 ribu tentara di area perbatasan dengan Ukraina. Amerika Serikat (AS) telah mengatakan adanya risiko invasi jika Rusia-AS tak berhasil mencapai kesepakatan. Di sisi lain, Rusia menolak tudingan mengenai rencana invasi. 

Kondisi ketidakpastian dan konflik geopolitik yang menjadi sorotan pekan ini akan berdampak ke berbagai sisi. “Apa pun itu, upaya diplomasi tetap berjalan, namun tekanan akan seperti biasa dirasakan oleh pasar pertama kali,” jelasnya.

Pilarmas Investindo Sekuritas sebelumnya memprediksi harga minyak dengan tingkat probabilitas 81 persen akan menuju US$97,60 dengan exit di US$81,90. Dalam jangka panjang, harga relatif stabil di rentang US$90–US$95 per barel.

“Harap perhatikan pergerakan sahamnya yang berkorelasi positif terhadap minyak dan emas  karena berpotensi mengalami kenaikkan meskipun indeks berpotensi terkoreksi,” jelas Nico.

Krisis rantai pasokan energi

Selain itu, krisis energi di rantai pasokan juga memberi tekanan tambahan yang mendongkrak harga minyak. “Inilah yang membuat IMF menaikkan proyeksi inflasi bagi negara maju, dari sebelumnya 2,3 persen menjadi 3,9 persen; dan 5,9 persen bagi negara berkembang,” jelas Nico.

Melihat tren dan proyeksi itu, The Fed dan bank sentral di dunia bisa semakin gerah menghadapi inflasi yang terus mendapat ‘tenaga’ dari kenaikan harga minyak. Pada akhirnya, itu meningkatkan naiknya tingkat suku bunga acuan.

Bank Sentral Inggris telah menaikkan tingkat suku bunganya akibat teknan dari biaya energi. Kemudian, ECB (Bank Sentral Eropa) juga akan meninjau dampak peningkatan harga energi bagi perekonomiannya. Peningkatan inflasi yang lebih tinggi dari sebelumnya pun bisa memicu ECB mempercepat kenaikan tingkat suku bunga acuan.

Dengan begitu, setiap kenaikan harga minyak sebesar US$10 per barel, maka diproyeksikan  pertumbuhan ekonomi tahun berikutnya akan tertekan 0,1 persen.

Related Topics