Jakarta, FORTUNE – Indonesia memiliki sejumlah upaya dukungan untuk menurunkan emisi gas rumah kaca seperti penetapan nilai ekonomi karbon (carbon pricing) serta pengenalan pajak karbon. Keduanya memiliki payung hukum masing-masing.
“Indonesia telah menjadi salah satu dari sedikit negara, bahkan yang terbesar di negara berkembang, yang melakukan tindakan yang nyata terkait transisi energi yang adil dan terjangkau. Hal ini menunjukkan sinyal yang kuat tentang keseriusan Indonesia dalam menangani risiko perubahan iklim,” ujar Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF), Febrio Kacaribu, dalam keterangan pers Kementerian Keuangan (Kemenkeu), Selasa (2/11).
Pada konferensi perubahan iklim yang dikenal dengan Conference of the Parties (COP26)—berlangsung di Glasgow, Skotlandia—Indonesia juga berperan dalam mendorong negara-negara maju untuk mendanai negara berkembang. Ini berkait dengan mobilisasi dana hingga US$100 miliar per tahun oleh negara-negara maju.
Posisi strategis Indonesia di kancah internasional
Menteri Keuangan Indonesia dan Finlandia berperan menjadi co-chair Coalition of Finance Ministers for Climate Actions (2021-2023). Koalisi ini dijadwalkan akan mengadakan pertemuan urusan iklim dan keuangan pada Rabu (3/11) di Roma, Italia. Selain itu, Indonesia akan berperan sebagai presidensi KTT G20 pada 2022 dan mengetuai ASEAN pada 2023.
Berbagai peran ini dinilai akan memberi Indonesia posisi strategis di kancah internasional. Dengan begitu, Indonesia berpeluang mendorong negara-negara lain mencapai target pengendalian perubahan iklim global.
“Pemerintah Indonesia akan mengoptimalkan keterlibatan aktif di forum-forum internasional, termasuk COP26 ini, sebagai sarana untuk memberi contoh kepada negara-negara lain dan mengkatalisasi kerja sama untuk memitigasi dan mengatasi dampak perubahan iklim dengan tindakan nyata,” kata Febrio.
Target Indonesia dalam penurunan emisi
Indonesia merupakan negara berkembang pertama yang menyampaikan target nasionalnya sebagai bentuk komitmen sukarela di tingkat internasional. “Yaitu, penurunan emisi sebanyak 26% dari kondisi business as usual pada tahun 2030 dengan sumber daya nasional. Dan penurunan hingga 41% jika mendapat dukungan dan kerja sama internasional,” ujarnya.
Indonesia berkomitmen mengurangi dampak perubahan iklim. Ini bisa terlihat dari keikutsertaannya menandatangani Perjanjian Paris dalam Konvensi Kerangka Kerja Perubahan Iklim PBB (UNFCCC).
Peran Indonesia dalam Perjanjian Paris
Menurut Febrio, Perjanjian Paris bersifat mengikat dan diterapkan tidak hanya pada negara maju, namun ke semua negara dengan prinsip tanggung jawab bersama yang dibedakan dan berdasarkan kemampuan masing-masing.
Persetujuan penting ini tidak terlepas dari peran Indonesia saat menjadi presidensi COP13 di Bali pada 2007, konferensi yang menghasilkan Bali Roadmap sebagai dokumen yang mendasari Perjanjian Paris. Kemudian, persetujuan ini pun baru terwujud pada COP21 di Paris pada 2015.
Pada COP26, pemerintah Indonesia terus menunjukkan komitmennya dalam menghadapi perubahan iklim via kolaborasi dengan negara-negara maju dan berkembang demi memitigasi perubahan iklim.
“COP26 menjadi sebuah pertemuan sangat penting karena merupakan pertemuan tingkat tinggi pertama yang mengevaluasi kemajuan yang telah dilakukan sejak Paris Agreement diadopsi,” kata Febrio.