Kota-kota yang Mulai Gagap Menghadapi Perubahan Iklim

Akibat penurunan air tanah, Jakarta juga masuk daftar.

Kota-kota yang Mulai Gagap Menghadapi Perubahan Iklim
Ilustrasi banjir di Jakarta. (Shutterstock/Dani Daniar)
Follow Fortune Indonesia untuk mendapatkan informasi terkini. Klik untuk follow WhatsApp Channel & Google News

Jakarta, FORTUNE - Kedatangan badai Ida ke Amerika Serikat (AS) pada pekan lalu menyebabkan hujan deras dan banjir di beberapa negara bagian, serta menelan korban jiwa sekitar 40 orang.

Melansir Wired, Senin (6/9), New York termasuk salah satu wilayah yang terdampak. Akibatnya, banyak area di bawah tanah yang digenangi air. 

Fenomena itu berhubungan dengan perubahan iklim yang terjadi di berbagai belahan dunia. Ilmuwan iklim dan Direktur Iklim dan Energi di Institut Breakthrough, Zeke Hausfather, mengatakan, “semua itu (fenomena perubahan iklim) adalah yang kami katakan akan berlangsung 20 tahun lalu. Hanya saja, agak gila saat melihat semuanya terjadi secara bersamaan.”

Salah satu proyeksi yang mengemuka di tengah pemanasan global adalah penurunan curah hujan. Namun, menurut laporan Panel Antarpemerintah PBB mengenai Perubahan Iklim, curah hujan justru meningkat di beberapa bagian dunia seperti Barat Tengah dan Timur Laut AS.

Hausfather mengatakan Badai Ida berlangsung begitu hebat dan cepat sebagai efek dari air bersuhu hangat di Teluk Meksiko bertemu angin yang berembus hingga lebih dari 240 km per jam. Massa udara hangat itu berputar-putar sekaligus menahan kelembapan tingkat tinggi. Pada akhirnya, Ida membawa kelembapan yang berujung pada hujan deras.

Sebetulnya, tata letak dan infrastruktur kota berperan penting untuk mencegah fenomena akibat perubahan iklim tersebut. Akan tetapi, menurut ahli konstruksi setempat, ada masalah terkait prasarana di New York.

“Anda tidak harus menjadi orang dengan pemahaman infrastruktur yang baik untuk mengetahui bahwa itu (infrastruktur New York) bermasalah,” kata mantan presiden di Capital Construction Company milik Metropolitan Transportation Authority (MTA), Michael Horodniceanu, dikutip Wired.

Itu tidak hanya berlaku untuk New York, tapi juga beberapa kota lain di negara yang berbeda. Berikut sejumlah kota yang infrastrukturnya tak lagi efektif menanggung risiko akibat perubahan iklim.

1. New York

Pembangunan infrastruktur di New York berlangsung pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20 guna menahan badai yang melanda kota tersebut tiap lima hingga 10 tahun sekali.

Banjir pekan lalu seakan mengingatkan bahwa infrastruktur kota New York saat ini tidak lagi cocok memitigasi bencana akibat perubahan iklim. “Kita mulai melihat akibat dari kurangnya perhatian terhadap infrastruktur (kota),” ujar Horodniceanu.

60 persen kota New York memiliki sistem pembuangan gabungan yang menggunakan pipa tunggal untuk air limbah dan air hujan ke instalasi pengolahan. Jika terjadi hujan sangat deras, maka sistem seperti itu cenderung lebih mudah kacau. Sampah, tanaman, dan kotoran umum pun menyumbat saluran air sehingga risiko terjadinya banjir semakin meningkat.

Insinyur Lingkungan dari Institusi Carnegie untuk Sains, David Farnham, menjelaskan “bila ada gelombang besar seperti ini (badai Ida), saya tak berpikir ada waktu yang cukup untuk mengosongkan saluran pipa dengan cepat demi menghindari banjir.”

New York kini tengah berupaya memisahkan sistem saluran pembuangan dan membersihkan saluran air yang tersumbat, khususnya saat badai mengancam. Sejumlah area di stasiun kereta bawah tanah pun dihilangkan, karena berisiko mengalirkan genangan banjir ke dalam stasiun. Di beberapa tempat, MTA pun memasang pintu antibanjir yang dapat menutup ketika air banjir terlalu dekat.

2. Shanghai, Zhoushan, dan Zhengzhou (Tiongkok)

Angin topan In-fa menerjang pesisir Timur Tiongkok, tepatnya Provinsi Zhejiang pada akhir Juli 2021. Peristiwa itu berdampak pada sejumlah kota di Tiongkok, seperti Shanghai, Zhoushan, dan Zhengzhou.

Badai itu melanda ketika Tiongkok belum pulih sepenuhnya dari banjir tahunan musim panas pada pertengahan Juli. Fenomena alam itu tidak lepas dari masalah perubahan iklim dunia. Kala itu, curah hujan sangat tinggi dalam tiga hari berturut-turut.

Mengutip DW, Zhengzhou merupakan salah satu kota yang paling terdampak oleh banjir dan badai In-fa. Para komuter terjebak di stasiun kereta bawah tanah dengan genangan air yang terus meninggi. Bahkan ada yang tenggelam hingga meregang nyawa.

Laporan lembaga riset dan analisis, The Jamestown Foundation, menunjukkan adanya peningkatan risiko genangan air perkotaan akibat terlalu banyak konstruksi bawah tanah dan sistem drainase yang tidak memadai.

Guna mengatasi itu, Tiongkok pun menguji coba sistem ‘Kota Spons’ dengan menggelontorkan 53,4 miliar renminbi demi meningkatkan kemampuan penyerapan, penyimpanan, pemurnian, dan pelepasan air.

Akan tetapi, setelah banjir akibat hujan deras di Zhengzhou, ahli manajemen darurat menyebut ruang bawah tanah merupakan salah satu penyumbang korban jiwa terbesar dan kerusakan properti. Selain itu, volume air berlebihan pun gagal diserap. Para ahli menyimpulkan pembangunan infrastruktur tanpa pengelolaan kota terpadu dan sistem peringatan darurat tidak akan efektif mengatasi masalah banjir.

“Solusi teknologi yang mahal tidak cukup untuk menyelesaikan masalah banjir dan masalah pembangunan lain,” kata Chen.

3. Jakarta

Pada awal 2021, banjir setinggi 1,6 meter melanda banyak titik di Jakarta. Lebih dari 1.700 orang harus dievakuasi. Korban jiwa pun tercatat. Peristiwa itu menjadi salah satu banjir terbesar di Jakarta setelah yang terjadi pada 1996, 2002, 2007, 2013, dan 2020. Mengutip East Asia Forum, banjir pada tahun baru 2020 membebani perusahaan asuransi senilai US$79 juta atau Rp1,12 triliun.

Guna mengatasi banjir, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dan pemerintah pusat telah membangun berbagai infrastruktur seperti tanggul laut, pintu air, pelurusan sungai, hingga sistem untuk mengendalikan dan menyalurkan air yang sulit diatur. Begitu juga dengan kebijakan normalisasi sungai oleh Ahok dan naturalisasi sungai oleh Anies Baswedan.

Akan tetapi, penyebab banjir yang sebenarnya belum dipecahkan, yakni pembangunan perkotaan dan ekstraksi air tanah hingga dalam. Menurut Peneliti Universitas Oklahoma, Emma Colven, pengembang swasta membangun kota tanpa mempertimbangkan penduduk dan lingkungan kota.

Colven menambahkan, apartemen tinggi menjulang, pusat perbelanjaan, dan berbagai pembangunan lain telah mengurangi ruang hijau, hutan bakau dan waduk--bahkan melanggar undang-undang perencanaan tata ruang. 

Belum lagi dengan adanya ekstrasi air tanah yang menyebabkan penurunan tanah secara drastis. Banyak bisnis dan rumah orang-orang kaya yang memilih penggunaan air tanah ketimbang memanfaatkan sambungan air pipa. Begitu pula bangunan-bangunan yang tak melaporkan jumlah sumur yang mereka gunakan.

“Kota ini (Jakarta) sekarang tenggelam dengan kecepatan yang jauh melebihi kenaikan permukaan laut,” tulisnya.

Tokyo pernah mengalami fenomena serupa. Demi mencegah penurunan tanah yang lebih parah, pemerintah kota itu akhirnya mengurangi dan mengimbangi ekstrasi air tanah. 

Magazine

SEE MORE>
Fortune Indonesia 40 Under 40
Edisi Februari 2024
Investor's Guide 2024
Edisi Januari 2024
Change the World 2023
Edisi Desember 2023
Back for More
Edisi November 2023
Businessperson of the Year 2023
Edisi Oktober 2023
Rethinking Wellness
Edisi September 2023
Fortune Indonesia 100
Edisi Agustus 2023
Driving Impactful Change
Edisi Juli 2023

Most Popular

Cara Daftar BRImo Secara Online Tanpa ke Bank, Ini Panduannya
Jumlah Negara di Dunia Berdasarkan Keanggotaan PBB
Erick Thohir Buka Kemungkinan Bawa Kasus Indofarma ke Jalur Hukum
Saat Harga Turun, Edwin Soeryadjaya Borong Saham SRTG Lagi
Lampaui Ekspektasi, Pendapatan Coinbase Naik Hingga US$1,6 Miliar
Mengenal Apa Itu UMA pada Saham dan Cara Menghadapinya