Ketua Bidang Penelitian dan Pengembangan DPP AMPHURI, Ulul Albab, menilai pengesahan UU Nomor 14 Tahun 2025 menimbulkan “guncangan” di sektor penyelenggaraan umrah. Ulul menjelaskan, beleid ini menimbulkan potensi ketimpangan kebijakan dan mengabaikan peran PPIU yang selama ini menjadi mitra resmi pemerintah.
“Bagi sebagian orang mungkin ini progresif. Tapi bagi penyelenggara perjalanan ibadah umrah (PPIU), terasa seperti tepukan halus di pundak yang justru menimbulkan tanda tanya: apakah negara masih percaya kepada kami?” katanya.
Oleh karena itu, AMPHURI menyoroti tiga aspek utama yang dinilai bermasalah dalam beleid tersebut. Pertama, dari sisi konstitusionalitas, pasal terkait umrah mandiri dianggap berpotensi melanggar Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 tentang hak warga negara atas perlindungan dan kepastian hukum.
“Ketika ibadah lintas negara dilepaskan kepada individu tanpa mekanisme perlindungan yang memadai, siapa yang bertanggung jawab jika terjadi penipuan atau keterlantaran jamaah?” tutur Ulul.
Kedua, dari sisi kelembagaan, negara seolah menyerahkan tanggung jawab penyelenggaraan ibadah lintas yurisdiksi kepada individu.
“Umrah bukan sekadar wisata spiritual, melainkan ibadah lintas yurisdiksi yang menyangkut reputasi bangsa,” ujarnya.
Terakhir, dari sisi tata kelola kebijakan, AMPHURI menilai regulasi baru ini lebih responsif terhadap Saudi Vision 2030 ketimbang visi pembangunan nasional Indonesia 2045.