Kemendag Inisiasi Kesepakatan Ketahanan Pangan/Pertanian G33 di WTO
Pertemuan digagas Indonesia setelah upaya di WTO buntu.
Jakarta, FORTUNE – Indonesia mendapat dukungan politis dari negara-negara berkembang dan kurang berkembang untuk menyepakati isu-isu pertanian yang akan menjadi Paket Kebijakan dalam Koferensi Tingkat Menteri (KTM) World Trade Organization (WTO) ke-12 pada akhir tahun ini.
Melansir keterangan resmi Kementerian Perdagangan, kesepakatan dilakukan melalui Pertemuan Informal Tingkat Menteri (PITM) G33 yang berlangsung secara virtual pada Kamis (16/9). Pertemuan yang digagas Indonesia ini dilaksanakan setelah perundingan tentang isu pertanian dengan WTO menuai jalan buntu.
“Konsolidasi G33 diperlukan untuk menyelesaikan isu prioritas WTO dan mencari jalan keluar tentang ketahanan pangan pada isu stok pangan, instrumen pengamanan impor produk pertanian pada Special Safeguard Mechanism (SSM), dan pemotongan subsidi pertanian yang mendistorsi perdagangan,” ujar Menteri Perdagangan RI, Muhammad Lutfi.
Upaya terbaik Indonesia
Lutfi menyatakan harapannya agar Indonesia terikat hubungan yang saling menguntungkan. Dalam hematnya, Indonesia dapat berperan lebih dalam berbagai penyusunan kebijakan dan peraturan perdagangan.
“Kita ini mau berevolusi, tiba-tiba industri hulu kita jalan, industri hilirisasinya bakal jalan semua. Industri kita ini pokoknya bakalan moncer nih. Sekarang kita balik gimana cara, pokoknya negara-negara (G33) ini balik untuk dagang lagi,” kata Lutfi.
Direktur Jenderal WTO, Ngozi Okonjo-Iweala, mengatakan KTM 12 mendatang menjadi penentu kredibilitas WTO dan keberhasilan negosiasi pertanian. “G33 perlu menyiapkan strategi utama dan cadangan jika kebuntuan masih terjadi untuk mencari terobosan,” kata Ngozi.
Indonesia tekankan mekanisme yang adil dan transparan
Lutfi juga menyampaikan Indonesia menekankan pentingnya mekanisme adil dan transparan bagi semua anggota WTO, serta pemberlakuan perlakuan khusus untuk negara berkembang dan kurang berkembang di tengah kondisi krisis seperti kelaparan, bencana alam, dan perubahan iklim. Menurut G33, hal-hal tersebut menjadi alasan akan diperlukannya subsidi bagi kelompok petani kecil dan miskin.
Menurut Lutfi, masalah pertanian di WTO ini layaknya pertarungan tinju dunia yang terus berjibaku tanpa kelihatan ujung lerainya. “Memang enggak ada juntrungannya, tapi kita harus coba. Kalau kita coba belum tentu iya, tapi kalau enggak pernah coba, pasti tidak pernah iya,” ujarnya kepada Fortune Indonesia (16/9).
Pandangan Indonesia mengenai SSM dan PSH di WTO
Menurut Direktur Jenderal Perundingan Perdagangan Internasional, Djatmiko Bris Witjaksono, alih-alih respons minim mayoritas anggota WTO terhadap SSM, instrumen tersebut tetap perlu dipertahankan. Sebab, adalah mandat Doha Development Agenda untuk melindungi produk pertanian menyusul fluktuatifnya harga pangan dan rawannya banjir impor. Selain itu, instrumen ini juga dibutuhkan selama pandemi.
“Terobosan dalam perundingan SSM dibutuhkan agar modalitas SSM lebih realistis dengan mengakomodasi berbagai kepentingan, namun tetap memberikan beberapa kelonggaran bagi negara berkembang dan kurang berkembang,” ujar Djatmiko.
Duta Besar Indonesia untuk WTO, Dandy Satria Iswara, mengatakan kesepakatan atas instrumen SSM dan PSH di WTO akan memberikan ruang kebijakan yang lebih besar kepada pemerintah.
“Nantinya, hal itu dapat digunakan untuk menjalankan berbagai kebijakan untuk mewujudkan keamanan dan kedaulatan pangan, serta pengurangan kemiskinan melalui program-program pemberdayaan petani kecil dan miskin,” katanya.