Arab Saudi Hukum Mati Seorang Pria Karena Cuitan di Aplikasi X
Padahal, followers-nya hanya 9 orang.
Jakarta, FORTUNE – Pemerintah Arab Saudi menjatuhkan vonis hukuman mati kepada seorang pria bernama Mohammed al-Ghamdi, karena mengunggah pernyataan di platform X (dulu Twitter) dan beberapa aktivitas di YouTube.
Human Rights Watch melalui hrw.org, menuliskan bahwa berdasarkan dokumen pengadilan Arab Saudi, Pengadilan Kriminal Khusus menjatuhkan hukuman mati pada al-Ghamdi pada 10 Juli. Putusan itu mengacu pada pasal 30 undang-undang kontraterorisme Arab Saudi karena ‘menggambarkan Raja atau Putra Mahkota dengan cara yang meremehkan agama atau keadilan’.
Al-Ghamdi juga dituduh melanggar pasal 34 yang ‘mendukung ideologi teroris’, pasal 43 untuk ‘komunikasi dengan entitas teroris’, dan pasal 44 terkait berita palsu ‘dengan tujuan kejahatan teroris’. Pengadilan menjatuhkan hukuman mati pada al-Ghamdi, hanya dengan menggunakan tweet, retweet, dan aktivitas YouTube, sebagai bukti yang memberatkannya.
Peneliti Arab Saudi di Human Rights Watch, Joey Shea, mengatakan kejadian ini merupakan sebuah bentuk penindasan gaya baru, dengan memanfaatkan sebuah tweet damai berujung pada vonis hukuman mati. “Pihak berwenang Saudi telah meningkatkan kampanye mereka melawan semua perbedaan pendapat hingga tingkat yang di luar nalar,” katanya seperti ditulis hrw.org, Selasa (29/8).
Penyebab ditangkap
Pernyataan hrw.org menuliskan, al-Ghamdi dalam beberapa tweetnya mengkritik keluarga kerajaan Saudi, dan sedikitnya satu tweet yang menyerukan pembebasan Salman al-Awda, seorang ulama terkemuka yang menghadapi hukuman mati atas berbagai tuduhan yang tidak jelas terkait dengan pernyataan politik, asosiasi, dan posisinya. “Dia (al-Ghamdi) adalah warga negara yang hanya menyatakan keprihatinannya terhadap pemerintah Saudi melalui platform X,” tulis rilis tersebut.
Lebih janggalnya lagi, menurut kelompok Hak Asasi Manusia (HAM) Gulf Centre for Human Rights, akun sosial media X milik al-Ghamdi hanya memiliki sembilan followers. "Bagaimana dunia bisa percaya bahwa negara ini (Arab Saudi) sedang melakukan reformasi ketika seorang warga negara akan dipenggal kepalanya hanya karena tweet di akun anonim yang memiliki kurang dari 10 pengikut?” ujar Kepala kelompok pemantau HAM ALQST, Lina al-Hathloul.
Sementara itu, saudara kandung Mohammed al-Ghamdi, yakni Saeed bin Nasser al-Ghamdi, merupakan seorang cendekiawan sekaligus kritikus pemerintah yang hidup terasing di Inggris. Ia berpendapat bahwa vonis mati kepada saudaranya adalah sebuah upaya memancing dirinya untuk kembali ke Arab Saudi, sekaligus balasan atas berbagai kritik yang ia sampaikan selama ini.
"Iklim politik tercemar dengan penindasan, teror, dan penangkapan politik hanya karena menyampaikan pendapat, bahkan dengan tweet atau like tweet yang mengkritik situasi (pemerintah)," kata Saeed.
Mencoreng reformasi visi 2030
Hukuman mati terhadap Al-Ghamdi adalah contoh kasus terbaru dan terberat dalam serangkaian kasus, di mana pemerintah Saudi menargetkan pengguna media sosial yang berekspresi secara damai di dunia maya. Sebelumnya, pemerintah Saudi mengeksekusi mati 81 orang pada 12 Maret 2022, dan kejadian itu jadi eksekusi massal terbesar di Saudi dalam beberapa tahun terakhir, meskipun pemerintah berjanji untuk membatasi penggunaan hukuman mati.
Kerajaan Arab Saudi yang kini secara de facto dipimpin oleh Putra Mahkota Mohammed bin Salman (MbS), tengah menjalankan agenda reformasi melalui visi 2030, untuk mengubah negara Kerajaan ini yang sebelumnya tertutup, jadi lebih terbuka sebagai tujuan pariwisata dan bisnis global. Namun, dengan adanya rangkaian kejadian yang bertentangan dengan HAM ini, agenda ini pun cukup tercoreng.