Ekonom Indef Sebut Klasterisasi BUMN Karya Berpotensi Tambah Beban PMN

Jakarta , FORTUNE - Ekonom senior Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Aviliani, mengatakan klasterisasi BUMN Karya berpotensi membuat beban penyertaan modal negara (PMN) bertambah.
Pasalnya, jika klasterisasi tersebut berujung pada pembentukan holding, merger atau akuisisi, BUMN dengan kinerja bagus akan mengalami koreksi kinerja keuangannya jika digabung dengan perusahaan lain yang kondisi keuangannya "kurang sehat".
"Kalau tadinya perusahaanya bagus sekarang digabungkan jadi jelek kinerjanya siapa tuh yang nanti menanggung utang terhadap perbankan," ujarnya dalam diskusi bertajuk "KEM-PPKF 2024: Perlukan PMN Rp57 Triliun", Selasa (13/6).
Di samping itu, BUMN Karya hasil merger juga akan kesulitan mendapat pinjaman baru dari bank karena terganjal aturan Batas Maksimal Pemberian Kredit (BMPK). Padahal dalam beberapa tahun mendatang, pemerintah diperkirakan bakal terus menggenjot proyek-proyek infrastruktur, termasuk di IKN.
"2023 ini mulai banyak project baru pembangunan infrastruktur, sehingga mereka akan kesulitan pendanaan perankan. Mau enggak mau mereka harus tambah lagi modal. Itu akhirnya kenapa harus ada PMN," ujarnya.
Redefinisi BUMN
Menurut Aviliani, pemerintah perlu meredefinisikan kembali BUMN dan fungsinya tidak hanya dengan melakukan klasterisasi dan membentuk holding, tapi juga membagi perusahaan negara berdasarkan peran strategisnya.
Langkah tersebut juga perlu diperbaiki dengan memperbaiki tata kelola perusahaan (good corporate governance) sehingga suntikan modal pemerintah dapat sejalan dengan peningkatan kinerja keuangan perusahaan dan efek berganda (multiplier effect) kepada masyarakat.
"Ini harus dipetakan mana yang harus beri keuntungan mana yang harus berikan multiplier effect terhadap ekonomi sehingga indikatornya akan beda," katanya.
Dia juga mendorong pemerintah memfokuskan kembali BUMN berdasarkan tujuannya. Pada BUMN yang bergerak di sektor strategis dan memiliki keterkaitan dengan layanan umum seperti PLN dan Pertamina, perusahaan yang mendapatkan subsidi harus dipisahkan dari anak usaha atau afiliasinya yang tidak mendapatkan subsidi dan fokus mencari keuntungan.
"Kalau kita bicara joint cost-nya, enak dong yang dapat keuntungan nebeng sama yang subsidi. Jadi bebannya di subsidinya. Yang ada subsidinya harusnya yang BLU jadi mereka itu benar-benar akan kelihatan berapa subsidi dan pertanggungjawaban subsidinya," ujarnya.
Sementara itu, hemat Aviliani, BUMN yang bertujuan mencari untung idealnya segera melakukan go public agar pengelolaannya dapat diawasi langsung oleh masyarakat. Meski demikian, perlu juga dibentuk model bisnis lain agar perusahaan yang berkonsentrasi mencari untung dapat tetap memberikan multiplier effect.
Ia mencontohkan sejumlah BUMN Karya yang telah go public, tapi dalam kenyataannya tidak bisa memberikan keuntungan karena banyak sekali penugasan dari pemerintah untuk dapat memberi multiplier effect terhadap perekonomian. Sementara di sisi lain, terkadang pembayaran dari pemerintah atas proyek penugasan juga terlambat.
"Kemudian kita lihat kasus kemarin ada mark up, misalnya. Siapa nih yang menentukan supaya mereka bisa benchmark terhadap yang lain, karena kalau karya ini (pemegang saham) swastanya lebih sedikit dibandingkan pemerintah atau BUMN," katanya.