Jakarta, FORTUNE - Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) memutuskan untuk memangkas kuota ekspor gas bumi secara bertahap. Kebijakan ini ditempuh demi mengamankan pasokan bagi industri dan pembangkit listrik dalam negeri, di tengah tren penurunan produksi alamiah (natural decline) dari sejumlah lapangan gas lama.
Direktur Pembinaan Program Minyak dan Gas Bumi Kementerian ESDM, Hendra Gunawan, menegaskan bahwa fokus pemerintah saat ini bergeser pada pemenuhan kebutuhan domestik. Meskipun ekspor gas—baik melalui pipa maupun liquefied natural gas (LNG)—masih berjalan, porsinya akan terus disesuaikan dengan prioritas nasional.
“Pemerintah telah menerapkan kebijakan untuk memprioritaskan kebutuhan gas dalam negeri, dan kuota ekspor akan diturunkan secara bertahap,” ujar Hendra dalam diskusi publik INDEF yang disiarkan secara virtual, Selasa (23/12).
Langkah ini mendesak dilakukan mengingat permintaan gas bumi, khususnya dari sektor ketenagalistrikan, terus menunjukkan tren peningkatan. Kondisi ini berbanding terbalik dengan kemampuan suplai dari lapangan-lapangan tua yang produksinya terus menyusut secara alamiah.
Berdasarkan data Kementerian ESDM periode Januari hingga September 2025, rata-rata pemanfaatan gas bumi nasional mencapai 5.594 Billion British Thermal Unit per Day (BBTUD).
Dari total tersebut, pasar domestik menyerap porsi mayoritas sebesar 3.895 BBTUD. Sektor industri menjadi konsumen terbesar dengan penyerapan 1.419,10 BBTUD (25,37 persen), disusul oleh LNG domestik sebesar 745 BBTUD (13,32 persen), dan sektor ketenagalistrikan sebesar 740,17 BBTUD (13,23 persen).
Sektor pupuk juga menyerap pasokan signifikan sebesar 680,65 BBTUD (12,17 persen). Sisanya terdistribusi untuk kebutuhan lifting minyak (3,63 persen), serta porsi kecil untuk LPG, jaringan gas kota (city gas), dan bahan bakar gas (BBG).
Sementara itu, gas yang dialirkan ke pasar ekspor tercatat sebesar 1.658 BBTUD. Perinciannya, ekspor LNG mencapai 1.285,82 BBTUD (22,98 persen dari produksi nasional) dan ekspor gas pipa sebesar 412,82 BBTUD (7,38 persen).
Untuk menjaga keseimbangan neraca gas pada masa mendatang, pemerintah mengandalkan percepatan pengembangan sejumlah wilayah kerja (WK) strategis, seperti WK South Andaman, WK Masela, hingga WK Genting.
“Pengembangan lapangan-lapangan tersebut diharapkan dapat mengatasi penurunan produksi gas yang terjadi secara alamiah,” kata Hendra.
Selain memacu sisi hulu, pemerintah juga menyoroti pentingnya infrastruktur distribusi. Hendra menyebutkan bahwa antisipasi pertumbuhan permintaan di berbagai wilayah memerlukan jaringan yang terintegrasi.
“Untuk memenuhi kebutuhan gas domestik dan perkiraan tumbuhnya potential demand di beberapa wilayah, perlu dikembangkan infrastruktur gas melalui pembangunan jaringan transmisi dan distribusi yang lebih luas,” katanya.
