NEWS

Gubernur BI Ingatkan Risiko Ketergantungan Dolar terhadap ASEAN

Penguatan Regional Financial Arrangement (RFA) dibutuhkan.

Gubernur BI Ingatkan Risiko Ketergantungan Dolar terhadap ASEANGubernur Bank Indonesia, Perry Warjiyo. (dok. Bank Indonesia)
03 May 2023
Follow Fortune Indonesia untuk mendapatkan informasi terkini. Klik untuk follow WhatsApp Channel & Google News

Jakarta, FORTUNE - Gubernur Bank Indonesia (BI) Perry Warjiyo menyoroti risiko stabilitas keuangan negara-negara Asean di tengah ketergantungan yang besar pada mata uang dolar untuk perdagangan internasional dan penyelesaian investasi. Apalagi, berbagai negara dihadapkan dengan berbagai tantangan berat seperti inflasi yang masih tinggi, kondisi likuiditas yang lebih ketat, dan ruang kebijakan yang lebih sempit.

Dalam forum dialog kebijakan Menteri Keuangan dan Gubernur Bank Sentral Negara Anggota ASEAN+3 (AFMGM +3) yang digelar Selasa (2/5), Perry menekankan perlunya inovasi untuk menjaga stabilitas untuk merespons kondisi tersebut.

Salah satunya dengan memperkuat dan meningkatkan kerja sama di antara negara-negara ASEAN+3 dalam konektivitas pembayaran dengan mempromosikan penggunaan mata uang lokal yang lebih luas untuk transaksi. 

Dalam siaran resmi bersama Bank Indonesia dan Kementerian Keuangan, AFMGM+3 disebut menyambut baik dan mengakui perkembangan kajian Sistem Pembayaran Lintas Batas di ASEAN+3, khususnya mengenai Penguatan Transaksi Mata Uang Lokal (Local Currency Transactions-LCT) dalam pembahasan Isu Tematik ASEAN+3. 

Mengingat situasi pandemi COVID-19 yang jauh lebih membaik, kawasan Asean menyadari perlunya pengurangan dukungan kebijakan terkait Covid-19 dengan tetap melaksanakan langkah-langkah kebijakan yang dikalibrasi secara hati-hati untuk mengendalikan inflasi, serta menjaga stabilitas moneter dan keuangan.

Selain itu, sektor-sektor utama seperti ekonomi hijau dan ekonomi digital, juga perlu diperkuat untuk memastikan keberlanjutan fiskal jangka panjang, dan mempromosikan pertumbuhan yang kuat, tangguh, dan berkelanjutan. 

Dalam kesempatan sama, Menteri Keuangan, Sri Mulyani Indrawati, mengatakan bahwa terlepas dari efek pandemi Covid-19 dan konflik Rusia-Ukraina yang meningkat menjadi krisis, pertumbuhan ekonomi ASEAN+3 cukup kuat, yakni 3,2 persen pada 2022.

Selain itu, meski gejolak sektor perbankan baru-baru ini terjadi di AS dan Eropa, hal tersebut memiliki dampak rambatan yang terbatas di kawasan ASEAN+3. Asia Tenggara sendiri diperkirakan akan tumbuh 4,6 persen pada 2023, dipacu oleh permintaan domestik yang kuat karena pemulihan ekonomi terus menunjukkan perbaikan. Meski demikian, Sri Mulyani menyatakan kewaspadaan ke depan diperlukan.

Terkait hal tersebut, forum AFMGM +3 juga mengakui bahwa prospek pertumbuhan jangka panjang untuk kawasan ini bergantung pada bagaimana kawasan ini mengelola risiko yang terkait dengan kemungkinan pandemi dan perubahan iklim di masa depan, termasuk bencana alam yang lebih sering dan parah. 

Karena itu, forum bersepakat tentang pentingnya kolaborasi menuju pemulihan yang kuat dan inklusif serta membuat kemajuan berkelanjutan dalam agenda 2030 untuk pembangunan berkelanjutan, untuk mencapai pembangunan global yang lebih kuat, lebih hijau, lebih tangguh, dan seimbang.

Penguatan RFA

Scarring effect dari pandemi Covid-19 dan meningkatnya risiko serta ketidakpastian prospek ekonomi regional dan global semakin menguatkan pentingnya penguatan Regional Financial Arrangement (RFA) lebih lanjut, termasuk Chiang Mai Initiative Multilateralisation (CMIM)—kesepakatan pertukaran mata uang multilateral yang melibatkan sepuluh negara Asean dan Republik Rakyat Tiongkok.

Dalam hal ini, negara-negara anggota ASEAN+3 akan terus mengeksplorasi fasilitas baru. Pertemuan AFMGM+3 menyambut baik hasil diskusi tentang inisiatif baru fasilitas pembiayaan cepat, yang memungkinkan anggota untuk mengakses sumber pembiayaan untuk mengatasi masalah neraca pembayaran yang timbul dari guncangan ekonomi yang tiba-tiba, seperti pandemi dan bencana alam.

Selanjutnya, Menteri dan Gubernur ASEAN+3 juga sepakat untuk mengeksplorasi kemungkinan penguatan struktur pembiayaan, termasuk melalui studi pro dan kontra struktur modal disetor (paid-in capital) untuk meningkatkan efektivitas keamanan kawasan.

Pertemuan AFMGM+3 tersebut juga menugaskan para Deputi untuk mengembangkan Peta Jalan tentang Fasilitas Pembiayaan dan Struktur Pembiayaan pada akhir 2023 dan terus mengevaluasi modalitas CMIM yang ada untuk memungkinkan negara-negara anggota memiliki alternatif fasilitas yang lebih baik, lebih cepat, dan lebih murah. 

Sebagai salah satu hasilnya, pertemuan AFMGM+3 menyambut baik adopsi Pedoman Operasional CMIM yang diperbarui yang memungkinkan anggota untuk memberikan dukungan likuiditas CMIM dalam mata uang domestiknya sendiri (Local Currency/LCY) dan mata uang lokal dari anggota lain (Local Currency/LCY pihak ketiga).

Kerja sama intraregional yang lebih erat —di bidang perdagangan dan investasi, logistik dan ketahanan rantai pasokan, antarkonektivitas sistem kepabeanan, arus lintas batas, infrastruktur berkelanjutan dan hijau, serta integrasi digital — akan semakin meningkatkan kemampuan kawasan ini untuk mengamankan pertumbuhan pasca pandemi, meminimalkan scarring effect, dan bersiap menghadapi guncangan di masa depan. 

Dalam hal ini, kawasan menegaskan kembali komitmen kuat terhadap sistem perdagangan multilateral berbasis aturan yang terbuka, bebas, adil, inklusif, adil, transparan dan tidak diskriminatif dengan World Trade Organization (WTO) sebagai intinya dan menyatakan dukungan peningkatan integrasi ekonomi regional dan implementasi Regional Comprehensive Economic Partnership (RCEP) Agreement.

Hasil diskusi AFMGM+3 akan dilanjutkan pada AFMGM+3 mendatang di Tbilisi, Georgia pada 2024 dan berharap dapat bekerja sama dengan Republik Demokratik Rakyat Laos dan Republik Korea sebagai Ketua Bersama (Co-chairs) Proses Menteri Keuangan dan Gubernur Bank Sentral ASEAN+3 pada tahun 2024.

Related Topics