NEWS

Kemenkeu Kaji Dampak Larangan Ekspor Minyak Goreng dan Bahan Bakunya

Pemerintah fokus jaga daya beli dan pertumbuhan ekonomi.

Kemenkeu Kaji Dampak Larangan Ekspor Minyak Goreng dan Bahan BakunyaPekerja menimbang tandan buah segar (TBS) kelapa sawit di Bram Itam, Tanjungjabung Barat, Jambi, Selasa (15/3/2022). ANTARA FOTO/Wahdi Septiawan/tom.
13 May 2022
Follow Fortune Indonesia untuk mendapatkan informasi terkini. Klik untuk follow WhatsApp Channel & Google News

Jakarta, FORTUNE - Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan (Kemenkeu) Febrio Nathan Kacaribu mengatakan pemerintah tengah mengevaluasi kebijakan larangan ekspor minyak goreng dan RBD Olein dan dampaknya terhadap pertumbuhan ekonomi.

Pasalnya, pemerintah memiliki prioritas untuk menjaga ketersediaan bahan pokok dalam negeri dan daya beli masyarakat. Di sisi lain, momentum pertumbuhan ekonomi yang sudah mulai kembali ke masa sebelum pandemi juga terus dijaga dengan mengoptimalkan ekspor sebagai kontributor PDB.

"Prioritas-prioritas tersebut di atas ini terus akan kami lihat dan evaluasi hari demi hari, minggu demi minggu memastikan bahwa pertumbuhan ekonomi, beli masyarakat, serta ketersediaan bahan pokok di Indonesia juga tetap terjaga," ujar Febrio dalam Media Briefing, Jumat (13/5).    

Sebelumnya, Presiden Joko Widodo (Jokowi) melarang ekspor minyak goreng dan bahan bakunya untuk mengendalikan harga yang disebabkan kelangkaan di dalam negeri. Larangan ekspor yang berlaku sejak 28 April 2022 itu tertuang dalam Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 22 Tahun 2022 tentang Larangan Sementara Ekspor CPO, Refined, Bleached, & Deodorized (RBD) Palm Oil, RBD Palm Olein, dan Used Cooking Oil (UCO).

Meski demikian, dinilai belum efektif mengendalikan harga minyak goreng di dalam negeri. Sementara di sisi lain, kebijakan tersebut telah banyak menuai respons negatif dari berbagai negara karena berdampak pada kenaikan minyak sawit mentah (CPO).

Sejumlah negara yang biasanya mengandalkan pasokan tersebut dari Indonesia pun langsung bereaksi. Salah satunya India, importir minyak sawit terbesar di dunia yang menyumbang 40 persen dari konsumsi minyak nabati—menurut USDA. 

Seperti dikutip The Hindu Business Line, Said Atul Chaturvedi, presiden Asosiasi Ekstraktor Pelarut India mengatakan bahwa tindakan Indonesia tersebut tidak beralasan dan telah menimbulkan dampak besar bagi India.

"Harga lokal di Indonesia mungkin jatuh sebagai akibat dari keputusan ini, tetapi harga di India mungkin meroket. Ini akan menjadi waktu yang sulit," ujarnya.

Harga CPO Naik

Selama ini India memenuhi setengah dari kebutuhan tahunannya atau sekitar 8,3 juta ton minyak sawit dari Indonesia. Bahkan tahun lalu, Negeri Bollywood itu juga mengumumkan rencananya untuk meningkatkan produksi minyak sawit domestik India.

Tak ayal, kontrol ekspor yang dilakukan Indonesia sejak akhir Januari telah menyebabkan kenaikan harga 38 persen CPO di India. Sedangkan harga minyak kedelai, yang paling banyak dikonsumsi setelah kelapa sawit, naik 29 persen di dalam negeri tahun ini.

Lantaran itu, pada Maret lalu pemerintah India telah meminta Indonesia untuk meningkatkan pengiriman minyak sawit untuk menutupi kekurangan pasokan dan alternatif yang mahal. 

Sementara itu, JPMorgan dalam laporannya hari ini mengatakan bahwa larangan ekspor Indonesia seperti menyiram bensin ke api. Pasalnya hal tersebut dapat memperparah inflasi global yang telah merangkak sejak pemulihan konsumsi seiring meredanya pandemi.

"Ini adalah pengingat lain dari kerentanan yang ada di seluruh rantai pasokan pertanian di lingkungan persediaan yang sudah ketat secara historis, ditambah dengan hilangnya volume ekspor Ukraina yang tidak terbatas dan biaya produksi yang tinggi secara historis," tulisnya.

Related Topics