NEWS

Pemerintah Cemas Transisi dari LIBOR Bikin Sektor Keuangan Tak Stabil

Penggunaan LIBOR dalam penerbitan utang pemerintah minim.

Pemerintah Cemas Transisi dari LIBOR Bikin Sektor Keuangan Tak StabilSuahasil Nazara, Wakil Menteri Keuangan RI. (Dok. Kemenkeu)
13 June 2022
Follow Fortune Indonesia untuk mendapatkan informasi terkini. Klik untuk follow WhatsApp Channel & Google News

Jakarta, FORTUNE - Wakil Menteri Keuangan Suahasil Nazara mengatakan transisi benchmark dari London Interbank Offered Rate (LIBOR) ke acuan yang lebih kredibel akan berdampak pada penerbitan surat utang pemerintah. Karena itu, menurutnya, penting bagi pemerintah untuk menyiapkan strategi agar sektor keuangan domestik tetap stabil di tengah proses yang telah berlangsung sejak 1 Januari 2022 tersebut.

"Satu hal yang akan sangat terpengaruh secara langsung adalah langkah pemerintah dalam menerbitkan penjaminan dan pinjaman. Dan kita harus memastikan bahwa dampak seperti itu tidak menciptakan ketidakstabilan keuangan yang tidak perlu dalam ekonomi," ujarnya dalam seminar bertajuk "Best Practices and Lessons Learnt on LIBOR Transition in Developing a Robust and Credible Reference Rate", Senin (13/6).

Dalam kesempatan tersebut, Direktur Pinjaman dan Hibah Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Pengelolaan Risiko (DJPPR) Kementerian Keuangan Syurkani Ishak Kasim menilai ada beberapa hal yang kemungkinan akan muncul terkait dengan proses transisi acuan suku bunga pinjam-meminjam antar bank tersebut.

Salah satunya adalah kenaikan keuntungan di salah satu pihak baik itu pemberi pinjaman maupun peminjam. "Kami lihat sedikit kekhawatiran dalam hal transisi ini salah satunya unnecessary gain bagi para pihak. Jadi bagi pemerintah kita melihat ini tidak boleh terjadi sebenarnya, bahwa ada unnecessary profit baik dari sisi kreditor maupun debitur karena ada perubahan sistem," ucapnya.

Kekhawatiran lainnya adalah permasalahan legal fee yang dikenakan perbankan karena adanya amandem perjanjian pinjaman alternatif reverence rate (ARR). 

Selain itu, ada pula kekhawatiran terkait metodologi perhitungan yang beberapa di antaranya masih menggunakan referensi lama. Menurutnya hal itu harus diperjelas agar tidak menyebabkan kebingungan dalam menentukan tingkat bunga yang dibayarkan.

"Ini perlu kita dorong karena bagaimana pun transisi sudah terjadi sejak 1 Januari 2022 walaupun beberapa tenor masih iberlakukan dan masih ada referensi nya sampai pertengahan 2023. Nah legacy financing ini yang harus kita cermati secara baik sehingga apa yang dipahami investor kita berbeda dengan pihak yang luar," jelasnya.

Meski demikian, Syurkani menjelaskan bahwa dalam hal mengelola portofolio sendiri, sebenarnya selama ini pemerintah tidak terlalu banyak menggunakan reference rate LIBOR dalam melakukan pembiayaan baik itu melalui SBN maupun SBSN atau Sukuk.

"Dalam hal ini, LIBOR US$ kurang dari 5 persen dari total portofolio. Walaupun kecil pemerintah sebagai regulator sangat hati-hati dalam menyikapi dan tentunya karena kita mengelola fisikal artinya dana dari masyarakat, sehingga mengelola harus dengan pricing yang sangat affordable," jelasnya.

Di sisi lain, pemerintah juga melakukan kerja sama transisi LIBOR agar dampaknya terhadap sektor keuangan dalam negeri tidak menyebabkan ketidakstabilan. Sebagaimana diketahui, dalam pembiayaan anggaran, pemerintah menggunakan banyak sekali pinjaman baik dari kreditor multilateral seperti Asian Development Bank (ADB), World Bank dan sebagainya, kreditor bilateral dan sumber komersial swasta asing, maupun investor dalam dan luar negeri.

"Dalam hal ini kuncinya adalah komunikasi terus menerus baik dalma hal Pinjaman maupun investor update yang dilakukan dari waktu ke waktu sehingga investor kita selalu terupdate dengan kondisi. Dan ini kita lakukan terus menerus baik dalam US$ maupun mata uang lain," tandasnya.

Related Topics