NEWS

Pendanaan Energi Fosil Disetop 2025, Umur PLTU Bisa Makin Panjang

Arcandra Tahar sebut gas jadi opsi terbaik di masa transisi.

Pendanaan Energi Fosil Disetop 2025, Umur PLTU Bisa Makin PanjangIlustrasi PLTU. (Pixabay/Benita Welter)

by Hendra Friana

12 January 2022

Follow Fortune Indonesia untuk mendapatkan informasi terkini. Klik untuk follow WhatsApp Channel & Google News

Jakarta, FORTUNE - Eks Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Arcandra Tahar skeptis berhentinya pendanaan untuk proyek energi fosil pada 2025 akan mengurangi penggunaan batu bara di dunia. Pasalnya, krisis energi yang terjadi di Eropa pada 2021 dan masih tingginya harga energi terbarukan telah membuat pengambil kebijakan dan pelaku bisnis mengkaji kembali rencana mempensiunkan PLTU-nya.

Karena itu lah, Komisaris Utama PT Perusahaan Gas Negara Tbk (PGN) itu menilai rencana dunia untuk menekan emisi dengan mengurangi PLTU lebih cepat di 2022 kemungkinan tidak sesuai yang di targetkan.  "Memang benar pada 2025 pendanaan PLTU dihentikan. Yang harus diwaspadai adalah eksisting PLTU akan diperpanjang umurnya. Enggak ada yang baru tapi umurnya diperpanjang," kata Arcandra dalam acara PGN Energy and Economic Outlook 2022, Rabu (12/1).

Menurut Arcandra transisi yang tak mulus dari energi fosil ke energi terbarukan juga menjadi penyebab penggunaan batu bara tak kunjung berkurang. Berkaca dari krisis yang terjadi di Eropa, lonjakan kebutuhan listrik seiring pemulihan ekonomi tak mampu dipenuhi oleh pembangki energi terbarukan yang bergantung pada musim dan cuaca. PLTS, contohnya, hanya bisa optimal saat siang hari. Sementara PLTB bergantung pada energi angin yang kadang enggan bertiup.  

"Misalnya terjadi krisis seperti yang di Eropa sekarang. Renewable energy belum mampu menggantikan. Yang dilihat sekarang, karena ini menyangkut hajat hidup orang banyak, kalau listrik tidak tersedia kemudian musim dingin memerlukan pemanas, apa yang mereka pilih? Menggunakan batu bara atau membiarkan rakyat kedinginan? maka mereka akan menghidupkan kembali (PLTU) batu baranya,"

Selain itu, menurutnya, kebutuhan yang besar di negara-negara berkembang akan energi murah juga menjadi penyebab. Di India dan China, misalnya, penggunaan batu bara sebagai pembangkit masih dominan karena mahalnya investasi energi baru terbarukan (EBT). Karena itu lah, dalam Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Iklim COP 26 di Glasgow November lalu, dua negara itu menolak kata "phaseout" untuk pembangkit listrik batu bara.

"65 persen kebutuhan coal ada di China dan India. Kebutuhan mereka untuk mendapatkan energi murah itu real. mereka sangat butuh. Yang paling simpel sekarang batu bara bagi mereka. Makanya dalam COP26 kata-kata phaseout diganti phasedown," jelasnya.

Gas untuk Transisi

Dalam kesempatan itu, Arcandra juga menyampaikan bahwa gas menjadi opsi terbaik untuk digunakan di masa transisi menuju energi terbarukan dan era net zero emssion. Sebab, meski tergolong sebagai fosil fuel, gas masih lebih rendah karbon dibandingkan minyak dan batu bara. Di Eropa, penggunaan gas selama masa krisis pun meningkat signifikan sebagai pembangkit puncak (peaker).

"Dan Eropa pun sekarang mulai kembali. Saya dapat data, gas di Norwegia yang tadinya di-inject ke dalam, sekarang sudah dipakai lagi untuk kebutuhan market. Pipa gas yang dibangun dari Rusia ke Eropa Barat juga dinanti-nantikan untuk bisa on stream," katanya.

Kondisi tersebut, jelas Arcandra, menunjukkan kebutuhan gas di Eropa pun akan sangat signifikan dalam masa transisi. "Artinya kesempatan kita dalam masa transisi untuk lebih menggunakan gas (lebih tinggi) karena jauh lebih bersih dibanding dibandingkan batu bara dan diesel," katanya.

Penggunaan gas sebagai bahan bakar pembangkit penyangga juga lebih baik ketimbang batu bara. Pasalnya, gas hanya butuh waktu sekitar 10 menit untuk masuk ke jaringan listrik utama. Sementara jika menggunakan PLTU, dibutuhkan waktu 10-11 jam sampai listrik masuk dalam jaringan dan bisa digunakan jika listrik dari sumber EBT habis atau tidak bisa digunakan.

"Jadi apa yang punya performance yang kurang lebih sama dengan batu bara? Untuk masa transisi adalah gas, tapi untuk renewable energy (di masa depan), ya geothermal. Geothermal bisa berfungsi seperti batu bara yang bisa hasilkan energi sepanjang waktu. Tidak bergantung pada ada matahari atau tidak, dan tidak bergantung pada ada angin atau tidak," ungkap Arcandra Tahar.

Related Topics